YOYOYO
its been a while since the last time gue ngepost ngepost alay gitu yes
knp org2 lg suka ngomong yes
Okay jd gini WAAA kangen ngedh guize sm blog aqu du sampe lebay yakhan
Ya pokoknya baru ada ilham lagi buat lanjutin si Damar setelah nanya nanya nisa olive rosie dan fira tentang apa kelanjutan yg harus gue tulis dan okay gue kira ini lah waktunya ya
BTW gue baru denger rumour Taylor bakal ke Indo woy!!!
BAKAL EPIC BANGET WOYYY YAKEEENN AQUUU
sok sokan epic
Yaudah lgsg saja k
its been a while since the last time gue ngepost ngepost alay gitu yes
knp org2 lg suka ngomong yes
Okay jd gini WAAA kangen ngedh guize sm blog aqu du sampe lebay yakhan
Ya pokoknya baru ada ilham lagi buat lanjutin si Damar setelah nanya nanya nisa olive rosie dan fira tentang apa kelanjutan yg harus gue tulis dan okay gue kira ini lah waktunya ya
BTW gue baru denger rumour Taylor bakal ke Indo woy!!!
BAKAL EPIC BANGET WOYYY YAKEEENN AQUUU
sok sokan epic
Yaudah lgsg saja k
Damar
Kayaknya gue udah kelewat sakit
Atau otak besar gua udah mulai bekerja kurang
baik
“Mar? Kok kamu ngelamun? Hai? Ini aku lho
akunya di sini. Hai?”, Kutepis tangan flamboyan Karin dari depan wajahku.
Ganggu.
“Duh, Damar! Sakit…”, halah, naïf sekali
tampang cewek ini. Minta maaf sama dia aja gue ogah. “Lo tunggu sini bentar,
gue ada urusan. Ceritanya kita delay dulu”, gue ngeloyor pergi, pakai gaya
melengos cewek ABG di sinetron biar dramatis. Ini jauh lebih penting daripada
mendengarkan Karin cerita sambil termehek-mehek, seperti gak sadar dulu dia
pernah menohok gue sama sakitnya dengan harga yang telah dibayarkan padanya
sekarang. Makan tuh sayang, basi.
Mata gue normal, masih indah tanpa kacamata.
Dan di depan gue terpampang siluet cewek yang
tadi pagi gue jadikan harta karun di hati yang sepi dan tandus ini.
Kaki gue seperti berjalan kearahnya, mengejar
takdir, kali. Tapi nyali gue belum cukup untuk menyapa. “Harus di
cukup-cukupin!” kata Iwan, sih, gitu. Sayang, gue gak nekat. Gak, gak, bukannya
gak nekat, gue memang bukan tipe cowok pemberani. Lebih disayangkan lagi, Iwan
memang dasarnya sudah sakit jiwa. Tipsnya gue rasa nggak bakal manjur.
Bisa gue rasa aura membunuh Karin yang sedang
duduk bête, merasa nggak dianggap.
Gue langkahin kaki gue, makin dekat. Memohon do’a kepada Tuhan dia cukup punya
hati untuk seenggaknya membalas “hai” gue. Syukur-syukur mau minta maaf buat
cecarannya tadi pagi yang, jujur, ngena banget. Penciuman gue belum sempat
mencapai aroma vanilla, dari belakang, dengan kecepatan 236 mph macam TGV
Reseau buatan Prancis, seorang cowok tampan menepuk pundaknya. Pakek acara
kasih-kasih bunga, lagi. Parah. Gadis pujaanku tersenyu nais, pipinya merona seperti
tak kuat menahan rasa malu dan senang. Sekalian jerit-jerit aja kalau perlu,
biar sakit sekalian hati gue. Pernah sekali gue merasakan perasaan yang sama
sakitnya. Di tempat yang sama, tenda nasi ini. Ketika gue dengan sok manisnya
ingin membuat kejutan untuk Karin. Sengaja tanpa memberi kabar, gue tunggu dia
di tenda. Dia selalu bilang, ini tempat kami berdua. Sebobrok-bobroknya, tenda
ini tetap istana. Dan gue benar-benar merasa hangat, tubuh gue merealisasikan
sampah yang terus-menerus Karin timbun di otak gue. Jika pusat tubuh gue saja
sudah menerima teori-teori Karin tentang tenda nasi uduk “kami” ini, mana bisa
gue melepaskan diri dari rutinitas terus mempercayainya.
Balik ke cerita pahit gue.
Iya, gue benar-benar tunggu dia. Dengan
kemeja yang dulu dia pilih buat gue waktu kami pertama jalan. Yang dari awal
orang-orang udah bilang gue gak pantes buat memakainya. Dia bilang jangan
denger orang-orang. Dia bilang gue ganteng dengan baju ini dan orang-orang cuma
iri. Dia jadiin gue bahan cemoohan. Gue anteng nunggu dia, yakin dia akan
kemari. Dia benar datang, dengan percaya diri gue pikir, ini memang sudah
takdir, firasat gue selalu benar jika tentang dia. Sampai tiba-tiba, seorang
cowok setengah berlari mengikutinya dari belakang, memasukan kunci mobil ke
kantung jeansnya, dan lalu menggandeng Karin. Karin menerima tangannya, lalu
mereka saling menatap, sama-sama tersenyum hangat.
Praktis hati gue hancur.
Karin mengecek keadaan, dan matanya bertemu
mata gue. Mulutnya membentuk pertanyaan,
“Ngapain lo disini?”
Gue mematung. Efek sakit hati ternyata mirip lumpuh,
ya.
Karin membuang muka, mementahkan gue
sejadi-jadinya. Tanpa diminta, gue keluar dari tenda, jalan secepat yang gue
bisa. Lo tau rasanya luka yang dikasih garam? Tau rasanya nggak sengaja minum
air aki? Perih, panas. Gue hilang akal, memutar kembali kata-kata manis yang
sempat keluar dari bibirnya, janji janji yang ia buat, apakah gue pernah
berbuat salah? Apakah memang gue memiliki banyak kekurangan sehingga patut
dimentahkan? Gue ingat-ingat kembali setiap cetusam-cetusan intermezzo Karin
setiap gue tanya siapa cowok yang baru saja menelponnya.
Dari situ gue sadar betapa busuk cewek ini,
dan betapa bodoh keputusan gue untuk percaya
bahwa dia enggak.