Senin, 16 September 2013

Ok.
Jadi ada yang minta gue nerusin cerita alay
yaudahlah berhubung gue gamau menampilkan kudeta dan perseturuan hati nurani dengan labilnya ekonomi, ya gue ikutin aja toh. oke toh.


Raisa
Aku dengan indahnya berdiri didepan kelas, nggak di beri izin masuk oleh Pak Agus. Tadinya aku berniat menusuk-nusuk ban motor Vega Z nya pakai pensil mekanikku, tapi kayaknya “nggak banget” deh, lagipula pensil mekanikku terlalu berharga dibanding dendamku pada Pak Agus dan keinginanku untuk menjadikan motornya sebagai korban.
“Lo bener-bener ngga boleh terlambat lagi, deh. Tadi mood dia langsung hancur gitu waktu tau ada yang berani terlambat padahal dia udah di kelas. Pokoknya horror abis.” Aku menoleh ke arah Shinta, bukan, kalau masalah betapa seramnya Pak Agus, aku sudah sangat mengerti. Yang membuat aku nggak ngerti adalah kata-kata “horror abis”. Aku belum pernah mendengar kata-kata tersebut keluar dari bibir seseorang. Mungkin itu bahasa g-a-o-l lain yang semestinya aku pelajari. “Terus gimana, nih? Aku juga takut tapi kesal juga sih di permalukan cuma gara-gara telat sebentar.” Aku dan Shinta tengah berjalan di koridor, Ibu Kania belum juga datang, jadi apa salahnya cari angin sebentar? “Ya, menurut gue sih, lo harus minta maaf.” Sebentar aku menimbang-nimbang saran dari Shinta. Melihat sol sepatu Pak Gus saja, nyaliku sudah kendor. Apalagi di suruh minta maaf, bisa-bisa aku pingsan terus wafat di tempat. Yang ada bukan bahagia, aku malah mati sia-sia.
“Kayaknya adrenalin ku ngga sebesar itu deh, Shin”, Aku menyambut saran Shinta, sedangkan dia hanya mangut-mangut seakan sudah mengetahui jawabanku jauh sebelum aku mengatakannya. “Kalau gitu, lo harus bisa menarik perhatian dia dengan cara yang paling ekstrem, dapet nilai sempurna selama satu semester, hahaha”, Benar juga kata Shinta. Walaupun disertai tawaan gak jelas seperti itu, inti dari kalimatnya sangat jelas. Aku harus mendapat perhatian Pak Agus sebelun riwayatku di SMP tamat sebelum mulai berjuang.
“Eh iya, baidewei anewei baswei eaa”, aku mecoba menyaring apa yang Shinta katakan, nggak ada harapan. Aku benar-benar nggak ngerti. Melihatku kebingungan, air muka Shinta berubah sedikit kecewa. “Ah iya, gue lupa lo kan nggak gaul”, memang bukan jawaban yang aku harapkan, tapi aku agaknya senang;setidaknya Shinta tau aku memang nggak gaul tapi disisi lain tetap mau bergaul denganku. “Yaudah, gini, tadi sebelum masuk kelas, lo di cariin sama Cakra. Itulohhh yang lo sering omongin duuhh emang mukanya gak ganteng-ganteng banget sih tapi senyumnya itu kok manis banget yaaa duuuhhh”, Shinta memang berlebihan. Berteman dengannya selama 3 tahun terakhir membuatku tau hal-hal paling buruk di diri Shinta yang mungkin tak terlihat diawal tatap, namun aku berusaha menutup mata dari kenyataan tersebut dan tetap bersama Shinta apapun keburukannya itu dapat berakibat.
Ngomong-ngomong soal Cakra, bohong jika aku bilang aku tidak suka dia. Perwakannya yang gagah namun kemampuan olahraganya yang, hm, nol memang agak aneh jika dipikir dengan nalar. Banyak perempuan yang menghengkangkan diri dari perebutan posisi menjadi pacarnya, well, tidak denganku. Justru sekarang ini Shinta sedang semangat-semangatnya menjodohkanku degan Cakra. Aku pemalu, sebenarnya. Tapi, entah bagaimana caranya, ada keyakinan dalam diriku bahwa aku bisa menjadi pembicara yang baik jika ada di dekat Cakra. Kami sepertinya ditakdirkan untuk bersama. Duh, aku mulai berlebihan, persis seperti Shinta.
“Kenapa katanya?”, aku mencoba untuk tetap tenang,mengenyampingkan perasaanku yang sudah nggak karuan. Kami masih berjalan di koridor, dari kejauhan bisa ku lihat siluet tubuh Bu Kania, gawat. “Eh itu udah ada Bu Kania ayo kita lari!”, aku mengkomando Shinta,kami berlari terbirit-birit bagai tuyul ketahuan mencuri uang jutawan. Berleihan, memang. Di antara sengalan nafas kami yang berkejaran, dapat kudengar Shinta berteriak cepat. “Lo diajak ke tenda nasi uduk! Mau makan bareng katanya!”. Seketika pipiku merona merah. Aku bertaruh, Bu Kania dari kejauhanpun dapat melihat jelas warna merah jambu dibalik keringatku yang mengucur deras. Masih tetap berlari, aku menukik tajam menuju kearah kelas dan seketika itu juga aku terduduk kelelahan. Semua mata tertuju kearahku, kebingungan. Ah Tuhan, betapa memalukannya. Shinta masuk tak lama setelah aku, turut kebingungan juga dia melihat aku menundukan wajah salah tingkah. Duh!