Ok.
Jadi ada yang minta gue nerusin cerita alay
yaudahlah berhubung gue gamau menampilkan kudeta dan perseturuan hati nurani dengan labilnya ekonomi, ya gue ikutin aja toh. oke toh.
Jadi ada yang minta gue nerusin cerita alay
yaudahlah berhubung gue gamau menampilkan kudeta dan perseturuan hati nurani dengan labilnya ekonomi, ya gue ikutin aja toh. oke toh.
Raisa
Aku dengan indahnya berdiri didepan kelas, nggak di beri
izin masuk oleh Pak Agus. Tadinya aku berniat menusuk-nusuk ban motor Vega Z
nya pakai pensil mekanikku, tapi kayaknya “nggak banget” deh, lagipula pensil mekanikku
terlalu berharga dibanding dendamku pada Pak Agus dan keinginanku untuk
menjadikan motornya sebagai korban.
“Lo bener-bener ngga boleh terlambat lagi, deh. Tadi mood
dia langsung hancur gitu waktu tau ada yang berani terlambat padahal dia udah
di kelas. Pokoknya horror abis.” Aku menoleh ke arah Shinta, bukan, kalau
masalah betapa seramnya Pak Agus, aku sudah sangat mengerti. Yang membuat aku
nggak ngerti adalah kata-kata “horror abis”. Aku belum pernah mendengar
kata-kata tersebut keluar dari bibir seseorang. Mungkin itu bahasa g-a-o-l lain
yang semestinya aku pelajari. “Terus gimana, nih? Aku juga takut tapi kesal
juga sih di permalukan cuma gara-gara telat sebentar.” Aku dan Shinta tengah
berjalan di koridor, Ibu Kania belum juga datang, jadi apa salahnya cari angin
sebentar? “Ya, menurut gue sih, lo harus minta maaf.” Sebentar aku
menimbang-nimbang saran dari Shinta. Melihat sol sepatu Pak Gus saja, nyaliku
sudah kendor. Apalagi di suruh minta maaf, bisa-bisa aku pingsan terus wafat di
tempat. Yang ada bukan bahagia, aku malah mati sia-sia.
“Kayaknya adrenalin ku ngga sebesar itu deh, Shin”, Aku
menyambut saran Shinta, sedangkan dia hanya mangut-mangut seakan sudah
mengetahui jawabanku jauh sebelum aku mengatakannya. “Kalau gitu, lo harus bisa
menarik perhatian dia dengan cara yang paling ekstrem, dapet nilai sempurna selama
satu semester, hahaha”, Benar juga kata Shinta. Walaupun disertai tawaan gak
jelas seperti itu, inti dari kalimatnya sangat jelas. Aku harus mendapat
perhatian Pak Agus sebelun riwayatku di SMP tamat sebelum mulai berjuang.
“Eh iya, baidewei anewei baswei eaa”, aku mecoba menyaring
apa yang Shinta katakan, nggak ada harapan. Aku benar-benar nggak ngerti.
Melihatku kebingungan, air muka Shinta berubah sedikit kecewa. “Ah iya, gue
lupa lo kan nggak gaul”, memang bukan jawaban yang aku harapkan, tapi aku
agaknya senang;setidaknya Shinta tau aku memang nggak gaul tapi disisi lain
tetap mau bergaul denganku. “Yaudah, gini, tadi sebelum masuk kelas, lo di
cariin sama Cakra. Itulohhh yang lo sering omongin duuhh emang mukanya gak
ganteng-ganteng banget sih tapi senyumnya itu kok manis banget yaaa duuuhhh”,
Shinta memang berlebihan. Berteman dengannya selama 3 tahun terakhir membuatku
tau hal-hal paling buruk di diri Shinta yang mungkin tak terlihat diawal tatap,
namun aku berusaha menutup mata dari kenyataan tersebut dan tetap bersama
Shinta apapun keburukannya itu dapat berakibat.
Ngomong-ngomong soal Cakra, bohong jika aku bilang aku tidak
suka dia. Perwakannya yang gagah namun kemampuan olahraganya yang, hm, nol
memang agak aneh jika dipikir dengan nalar. Banyak perempuan yang
menghengkangkan diri dari perebutan posisi menjadi pacarnya, well, tidak
denganku. Justru sekarang ini Shinta sedang semangat-semangatnya menjodohkanku
degan Cakra. Aku pemalu, sebenarnya. Tapi, entah bagaimana caranya, ada
keyakinan dalam diriku bahwa aku bisa menjadi pembicara yang baik jika ada di
dekat Cakra. Kami sepertinya ditakdirkan untuk bersama. Duh, aku mulai
berlebihan, persis seperti Shinta.
“Kenapa katanya?”, aku mencoba untuk tetap tenang,mengenyampingkan
perasaanku yang sudah nggak karuan. Kami masih berjalan di koridor, dari
kejauhan bisa ku lihat siluet tubuh Bu Kania, gawat. “Eh itu udah ada Bu Kania
ayo kita lari!”, aku mengkomando Shinta,kami berlari terbirit-birit bagai tuyul
ketahuan mencuri uang jutawan. Berleihan, memang. Di antara sengalan nafas kami
yang berkejaran, dapat kudengar Shinta berteriak cepat. “Lo diajak ke tenda
nasi uduk! Mau makan bareng katanya!”. Seketika pipiku merona merah. Aku
bertaruh, Bu Kania dari kejauhanpun dapat melihat jelas warna merah jambu
dibalik keringatku yang mengucur deras. Masih tetap berlari, aku menukik tajam
menuju kearah kelas dan seketika itu juga aku terduduk kelelahan. Semua mata
tertuju kearahku, kebingungan. Ah Tuhan, betapa memalukannya. Shinta masuk tak
lama setelah aku, turut kebingungan juga dia melihat aku menundukan wajah salah
tingkah. Duh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar