Senin, 28 April 2014

Kamu boleh pergi
Bukan, bukan pergi dimana kau mementahkan aku begitu saja, bukan seperti itu
Tidak se-main-main itu
Bukan juga pergi kau ditelan bumi di lumat Neraka Jahannam dibakar jadi arang di putuskan uratmu biar memancar segala yang mestinya mengalir di nadimu
Atas dasar dosamu selama ini padaku
Sungguh aku bukan pendendam, sayang
Sebagaimanapun kamu menyakitiku
Menjadikanku serigala gila meraung-raung tiap malam
Memimpikan namamu
Melupakan Tuhan
Sebagaimana kamu mencoba membunuhku
Mencongkel jatungku yang tinggal seperempatnya kini bolong kosong kandungnya
Tahu rasanya?
Aku ingin mati tanpamu
Tapi tanpamu jugapun aku ingat Tuhan
Kamu boleh pergi
Hilang bersama kata-kata emperanmu
Mana ada sampah rongsok dibayar duit
Kamu boleh pergi
Biar tak berdosa aku
Yang sudah biarlah sudah
Kubilang aku bukan pendendam
Memang bukan, sayang

Tapi memaafkan aku tak bilang

Sabtu, 15 Februari 2014

YOYOYO
its been a while since the last time gue ngepost ngepost alay gitu yes
knp org2 lg suka ngomong yes

Okay jd gini WAAA kangen ngedh guize sm blog aqu du sampe lebay yakhan

Ya pokoknya baru ada ilham lagi buat lanjutin si Damar setelah nanya nanya nisa olive rosie dan fira tentang apa kelanjutan yg harus gue tulis dan okay gue kira ini lah waktunya ya

BTW gue baru denger rumour Taylor bakal ke Indo woy!!!
BAKAL EPIC BANGET WOYYY YAKEEENN AQUUU
sok sokan epic

Yaudah lgsg saja k

Damar
Kayaknya gue udah kelewat sakit
Atau otak besar gua udah mulai bekerja kurang baik
“Mar? Kok kamu ngelamun? Hai? Ini aku lho akunya di sini. Hai?”, Kutepis tangan flamboyan Karin dari depan wajahku. Ganggu.
“Duh, Damar! Sakit…”, halah, naïf sekali tampang cewek ini. Minta maaf sama dia aja gue ogah. “Lo tunggu sini bentar, gue ada urusan. Ceritanya kita delay dulu”, gue ngeloyor pergi, pakai gaya melengos cewek ABG di sinetron biar dramatis. Ini jauh lebih penting daripada mendengarkan Karin cerita sambil termehek-mehek, seperti gak sadar dulu dia pernah menohok gue sama sakitnya dengan harga yang telah dibayarkan padanya sekarang. Makan tuh sayang, basi.
Mata gue normal, masih indah tanpa kacamata.
Dan di depan gue terpampang siluet cewek yang tadi pagi gue jadikan harta karun di hati yang sepi dan tandus ini.
Kaki gue seperti berjalan kearahnya, mengejar takdir, kali. Tapi nyali gue belum cukup untuk menyapa. “Harus di cukup-cukupin!” kata Iwan, sih, gitu. Sayang, gue gak nekat. Gak, gak, bukannya gak nekat, gue memang bukan tipe cowok pemberani. Lebih disayangkan lagi, Iwan memang dasarnya sudah sakit jiwa. Tipsnya gue rasa nggak bakal manjur.
Bisa gue rasa aura membunuh Karin yang sedang duduk bête, merasa nggak dianggap. Gue langkahin kaki gue, makin dekat. Memohon do’a kepada Tuhan dia cukup punya hati untuk seenggaknya membalas “hai” gue. Syukur-syukur mau minta maaf buat cecarannya tadi pagi yang, jujur, ngena banget. Penciuman gue belum sempat mencapai aroma vanilla, dari belakang, dengan kecepatan 236 mph macam TGV Reseau buatan Prancis, seorang cowok tampan menepuk pundaknya. Pakek acara kasih-kasih bunga, lagi. Parah. Gadis pujaanku tersenyu nais, pipinya merona seperti tak kuat menahan rasa malu dan senang. Sekalian jerit-jerit aja kalau perlu, biar sakit sekalian hati gue. Pernah sekali gue merasakan perasaan yang sama sakitnya. Di tempat yang sama, tenda nasi ini. Ketika gue dengan sok manisnya ingin membuat kejutan untuk Karin. Sengaja tanpa memberi kabar, gue tunggu dia di tenda. Dia selalu bilang, ini tempat kami berdua. Sebobrok-bobroknya, tenda ini tetap istana. Dan gue benar-benar merasa hangat, tubuh gue merealisasikan sampah yang terus-menerus Karin timbun di otak gue. Jika pusat tubuh gue saja sudah menerima teori-teori Karin tentang tenda nasi uduk “kami” ini, mana bisa gue melepaskan diri dari rutinitas terus mempercayainya.
Balik ke cerita pahit gue.
Iya, gue benar-benar tunggu dia. Dengan kemeja yang dulu dia pilih buat gue waktu kami pertama jalan. Yang dari awal orang-orang udah bilang gue gak pantes buat memakainya. Dia bilang jangan denger orang-orang. Dia bilang gue ganteng dengan baju ini dan orang-orang cuma iri. Dia jadiin gue bahan cemoohan. Gue anteng nunggu dia, yakin dia akan kemari. Dia benar datang, dengan percaya diri gue pikir, ini memang sudah takdir, firasat gue selalu benar jika tentang dia. Sampai tiba-tiba, seorang cowok setengah berlari mengikutinya dari belakang, memasukan kunci mobil ke kantung jeansnya, dan lalu menggandeng Karin. Karin menerima tangannya, lalu mereka saling menatap, sama-sama tersenyum hangat.
Praktis hati gue hancur.
Karin mengecek keadaan, dan matanya bertemu mata gue. Mulutnya membentuk pertanyaan,
“Ngapain lo disini?”
Gue mematung. Efek sakit hati ternyata mirip lumpuh, ya.
Karin membuang muka, mementahkan gue sejadi-jadinya. Tanpa diminta, gue keluar dari tenda, jalan secepat yang gue bisa. Lo tau rasanya luka yang dikasih garam? Tau rasanya nggak sengaja minum air aki? Perih, panas. Gue hilang akal, memutar kembali kata-kata manis yang sempat keluar dari bibirnya, janji janji yang ia buat, apakah gue pernah berbuat salah? Apakah memang gue memiliki banyak kekurangan sehingga patut dimentahkan? Gue ingat-ingat kembali setiap cetusam-cetusan intermezzo Karin setiap gue tanya siapa cowok yang baru saja menelponnya.
Dari situ gue sadar betapa busuk cewek ini,

dan betapa bodoh keputusan gue untuk percaya bahwa dia enggak.