Selasa, 28 Juli 2015

Kamu adalah ketumpang tindihan

Jangan berkurang nanti aku timpang

Dengar sekali saja aku bicara niatku tak simpang

Aku hanya ingin pulang

Membawamu yang sudah jauh

Menghinaku dengan kenyamanan

Masih haruskah kau belitkan jalar berduri itu kuanggap tak perlu

Sudah lama mereka bilang aku tuna

Ku minta bela kau bilang iya

Aih

Pura-pura setuju padahal setuju

Nihil sangkut pautmu sudah dari lama

Namaku dipanggil kau sahut pula

Aih


Mengapa masih saja
Jangan sekali-kali sengaja pergi supaya dicari. Jangan merasa memiliki, kamu dan sok tahumu itu terlampau percaya diri bahwa sebengis apapun perbuatanmu, dia tak akan lari. Apa yang kau pikirkan merupakan dirimu nantinya akan memakan jiwamu sendiri, melukis tanda kecewa sebegitu besarnya kau suruh pun tidak mereka akan sadar.

Jangan mempermainkan seakan diinginkan. Dia mungkin mengidamkanmu hari ini, bersedia memberimu segala yang dimiliki juga tidak, menyalahkan dirinya sendiri ketika kau tampak tak puas. Bahkan saat rakus telah terpancar sebegitu mudahnya ia kan lihat ia memilih menutup matanya sendiri ketimbang mempercayai bahwa kau telah menjelma binatang.


Dan penyesalan adalah ketika kamu berduka bukan karena tak lagi memiliki dia, atau cintanya, tetapi karena kehilangan dirimu yang dulu pantas, punya kesempatan, untuk dicinta.

Senin, 28 April 2014

Kamu boleh pergi
Bukan, bukan pergi dimana kau mementahkan aku begitu saja, bukan seperti itu
Tidak se-main-main itu
Bukan juga pergi kau ditelan bumi di lumat Neraka Jahannam dibakar jadi arang di putuskan uratmu biar memancar segala yang mestinya mengalir di nadimu
Atas dasar dosamu selama ini padaku
Sungguh aku bukan pendendam, sayang
Sebagaimanapun kamu menyakitiku
Menjadikanku serigala gila meraung-raung tiap malam
Memimpikan namamu
Melupakan Tuhan
Sebagaimana kamu mencoba membunuhku
Mencongkel jatungku yang tinggal seperempatnya kini bolong kosong kandungnya
Tahu rasanya?
Aku ingin mati tanpamu
Tapi tanpamu jugapun aku ingat Tuhan
Kamu boleh pergi
Hilang bersama kata-kata emperanmu
Mana ada sampah rongsok dibayar duit
Kamu boleh pergi
Biar tak berdosa aku
Yang sudah biarlah sudah
Kubilang aku bukan pendendam
Memang bukan, sayang

Tapi memaafkan aku tak bilang

Sabtu, 15 Februari 2014

YOYOYO
its been a while since the last time gue ngepost ngepost alay gitu yes
knp org2 lg suka ngomong yes

Okay jd gini WAAA kangen ngedh guize sm blog aqu du sampe lebay yakhan

Ya pokoknya baru ada ilham lagi buat lanjutin si Damar setelah nanya nanya nisa olive rosie dan fira tentang apa kelanjutan yg harus gue tulis dan okay gue kira ini lah waktunya ya

BTW gue baru denger rumour Taylor bakal ke Indo woy!!!
BAKAL EPIC BANGET WOYYY YAKEEENN AQUUU
sok sokan epic

Yaudah lgsg saja k

Damar
Kayaknya gue udah kelewat sakit
Atau otak besar gua udah mulai bekerja kurang baik
“Mar? Kok kamu ngelamun? Hai? Ini aku lho akunya di sini. Hai?”, Kutepis tangan flamboyan Karin dari depan wajahku. Ganggu.
“Duh, Damar! Sakit…”, halah, naïf sekali tampang cewek ini. Minta maaf sama dia aja gue ogah. “Lo tunggu sini bentar, gue ada urusan. Ceritanya kita delay dulu”, gue ngeloyor pergi, pakai gaya melengos cewek ABG di sinetron biar dramatis. Ini jauh lebih penting daripada mendengarkan Karin cerita sambil termehek-mehek, seperti gak sadar dulu dia pernah menohok gue sama sakitnya dengan harga yang telah dibayarkan padanya sekarang. Makan tuh sayang, basi.
Mata gue normal, masih indah tanpa kacamata.
Dan di depan gue terpampang siluet cewek yang tadi pagi gue jadikan harta karun di hati yang sepi dan tandus ini.
Kaki gue seperti berjalan kearahnya, mengejar takdir, kali. Tapi nyali gue belum cukup untuk menyapa. “Harus di cukup-cukupin!” kata Iwan, sih, gitu. Sayang, gue gak nekat. Gak, gak, bukannya gak nekat, gue memang bukan tipe cowok pemberani. Lebih disayangkan lagi, Iwan memang dasarnya sudah sakit jiwa. Tipsnya gue rasa nggak bakal manjur.
Bisa gue rasa aura membunuh Karin yang sedang duduk bête, merasa nggak dianggap. Gue langkahin kaki gue, makin dekat. Memohon do’a kepada Tuhan dia cukup punya hati untuk seenggaknya membalas “hai” gue. Syukur-syukur mau minta maaf buat cecarannya tadi pagi yang, jujur, ngena banget. Penciuman gue belum sempat mencapai aroma vanilla, dari belakang, dengan kecepatan 236 mph macam TGV Reseau buatan Prancis, seorang cowok tampan menepuk pundaknya. Pakek acara kasih-kasih bunga, lagi. Parah. Gadis pujaanku tersenyu nais, pipinya merona seperti tak kuat menahan rasa malu dan senang. Sekalian jerit-jerit aja kalau perlu, biar sakit sekalian hati gue. Pernah sekali gue merasakan perasaan yang sama sakitnya. Di tempat yang sama, tenda nasi ini. Ketika gue dengan sok manisnya ingin membuat kejutan untuk Karin. Sengaja tanpa memberi kabar, gue tunggu dia di tenda. Dia selalu bilang, ini tempat kami berdua. Sebobrok-bobroknya, tenda ini tetap istana. Dan gue benar-benar merasa hangat, tubuh gue merealisasikan sampah yang terus-menerus Karin timbun di otak gue. Jika pusat tubuh gue saja sudah menerima teori-teori Karin tentang tenda nasi uduk “kami” ini, mana bisa gue melepaskan diri dari rutinitas terus mempercayainya.
Balik ke cerita pahit gue.
Iya, gue benar-benar tunggu dia. Dengan kemeja yang dulu dia pilih buat gue waktu kami pertama jalan. Yang dari awal orang-orang udah bilang gue gak pantes buat memakainya. Dia bilang jangan denger orang-orang. Dia bilang gue ganteng dengan baju ini dan orang-orang cuma iri. Dia jadiin gue bahan cemoohan. Gue anteng nunggu dia, yakin dia akan kemari. Dia benar datang, dengan percaya diri gue pikir, ini memang sudah takdir, firasat gue selalu benar jika tentang dia. Sampai tiba-tiba, seorang cowok setengah berlari mengikutinya dari belakang, memasukan kunci mobil ke kantung jeansnya, dan lalu menggandeng Karin. Karin menerima tangannya, lalu mereka saling menatap, sama-sama tersenyum hangat.
Praktis hati gue hancur.
Karin mengecek keadaan, dan matanya bertemu mata gue. Mulutnya membentuk pertanyaan,
“Ngapain lo disini?”
Gue mematung. Efek sakit hati ternyata mirip lumpuh, ya.
Karin membuang muka, mementahkan gue sejadi-jadinya. Tanpa diminta, gue keluar dari tenda, jalan secepat yang gue bisa. Lo tau rasanya luka yang dikasih garam? Tau rasanya nggak sengaja minum air aki? Perih, panas. Gue hilang akal, memutar kembali kata-kata manis yang sempat keluar dari bibirnya, janji janji yang ia buat, apakah gue pernah berbuat salah? Apakah memang gue memiliki banyak kekurangan sehingga patut dimentahkan? Gue ingat-ingat kembali setiap cetusam-cetusan intermezzo Karin setiap gue tanya siapa cowok yang baru saja menelponnya.
Dari situ gue sadar betapa busuk cewek ini,

dan betapa bodoh keputusan gue untuk percaya bahwa dia enggak.

Senin, 16 September 2013

Ok.
Jadi ada yang minta gue nerusin cerita alay
yaudahlah berhubung gue gamau menampilkan kudeta dan perseturuan hati nurani dengan labilnya ekonomi, ya gue ikutin aja toh. oke toh.


Raisa
Aku dengan indahnya berdiri didepan kelas, nggak di beri izin masuk oleh Pak Agus. Tadinya aku berniat menusuk-nusuk ban motor Vega Z nya pakai pensil mekanikku, tapi kayaknya “nggak banget” deh, lagipula pensil mekanikku terlalu berharga dibanding dendamku pada Pak Agus dan keinginanku untuk menjadikan motornya sebagai korban.
“Lo bener-bener ngga boleh terlambat lagi, deh. Tadi mood dia langsung hancur gitu waktu tau ada yang berani terlambat padahal dia udah di kelas. Pokoknya horror abis.” Aku menoleh ke arah Shinta, bukan, kalau masalah betapa seramnya Pak Agus, aku sudah sangat mengerti. Yang membuat aku nggak ngerti adalah kata-kata “horror abis”. Aku belum pernah mendengar kata-kata tersebut keluar dari bibir seseorang. Mungkin itu bahasa g-a-o-l lain yang semestinya aku pelajari. “Terus gimana, nih? Aku juga takut tapi kesal juga sih di permalukan cuma gara-gara telat sebentar.” Aku dan Shinta tengah berjalan di koridor, Ibu Kania belum juga datang, jadi apa salahnya cari angin sebentar? “Ya, menurut gue sih, lo harus minta maaf.” Sebentar aku menimbang-nimbang saran dari Shinta. Melihat sol sepatu Pak Gus saja, nyaliku sudah kendor. Apalagi di suruh minta maaf, bisa-bisa aku pingsan terus wafat di tempat. Yang ada bukan bahagia, aku malah mati sia-sia.
“Kayaknya adrenalin ku ngga sebesar itu deh, Shin”, Aku menyambut saran Shinta, sedangkan dia hanya mangut-mangut seakan sudah mengetahui jawabanku jauh sebelum aku mengatakannya. “Kalau gitu, lo harus bisa menarik perhatian dia dengan cara yang paling ekstrem, dapet nilai sempurna selama satu semester, hahaha”, Benar juga kata Shinta. Walaupun disertai tawaan gak jelas seperti itu, inti dari kalimatnya sangat jelas. Aku harus mendapat perhatian Pak Agus sebelun riwayatku di SMP tamat sebelum mulai berjuang.
“Eh iya, baidewei anewei baswei eaa”, aku mecoba menyaring apa yang Shinta katakan, nggak ada harapan. Aku benar-benar nggak ngerti. Melihatku kebingungan, air muka Shinta berubah sedikit kecewa. “Ah iya, gue lupa lo kan nggak gaul”, memang bukan jawaban yang aku harapkan, tapi aku agaknya senang;setidaknya Shinta tau aku memang nggak gaul tapi disisi lain tetap mau bergaul denganku. “Yaudah, gini, tadi sebelum masuk kelas, lo di cariin sama Cakra. Itulohhh yang lo sering omongin duuhh emang mukanya gak ganteng-ganteng banget sih tapi senyumnya itu kok manis banget yaaa duuuhhh”, Shinta memang berlebihan. Berteman dengannya selama 3 tahun terakhir membuatku tau hal-hal paling buruk di diri Shinta yang mungkin tak terlihat diawal tatap, namun aku berusaha menutup mata dari kenyataan tersebut dan tetap bersama Shinta apapun keburukannya itu dapat berakibat.
Ngomong-ngomong soal Cakra, bohong jika aku bilang aku tidak suka dia. Perwakannya yang gagah namun kemampuan olahraganya yang, hm, nol memang agak aneh jika dipikir dengan nalar. Banyak perempuan yang menghengkangkan diri dari perebutan posisi menjadi pacarnya, well, tidak denganku. Justru sekarang ini Shinta sedang semangat-semangatnya menjodohkanku degan Cakra. Aku pemalu, sebenarnya. Tapi, entah bagaimana caranya, ada keyakinan dalam diriku bahwa aku bisa menjadi pembicara yang baik jika ada di dekat Cakra. Kami sepertinya ditakdirkan untuk bersama. Duh, aku mulai berlebihan, persis seperti Shinta.
“Kenapa katanya?”, aku mencoba untuk tetap tenang,mengenyampingkan perasaanku yang sudah nggak karuan. Kami masih berjalan di koridor, dari kejauhan bisa ku lihat siluet tubuh Bu Kania, gawat. “Eh itu udah ada Bu Kania ayo kita lari!”, aku mengkomando Shinta,kami berlari terbirit-birit bagai tuyul ketahuan mencuri uang jutawan. Berleihan, memang. Di antara sengalan nafas kami yang berkejaran, dapat kudengar Shinta berteriak cepat. “Lo diajak ke tenda nasi uduk! Mau makan bareng katanya!”. Seketika pipiku merona merah. Aku bertaruh, Bu Kania dari kejauhanpun dapat melihat jelas warna merah jambu dibalik keringatku yang mengucur deras. Masih tetap berlari, aku menukik tajam menuju kearah kelas dan seketika itu juga aku terduduk kelelahan. Semua mata tertuju kearahku, kebingungan. Ah Tuhan, betapa memalukannya. Shinta masuk tak lama setelah aku, turut kebingungan juga dia melihat aku menundukan wajah salah tingkah. Duh!