(Damar, Awal Januari)
“Apakabar bro? Iya nih, Jakarta sama Bandung emang kayak
bumi dan langit. Enggak deh, bumi dan langit agak berlebihan. Lagian, gue gak
terlalu ngerti apa maksudnya ‘antara bumi dan langit’. Hmm, iya, disini basi
banget gaada lo. Hah? Cewek? Gak lah, cewek Cuma bikin pusing. Mending gue
nontonin Megan Fox atau beli buku Kardashian. Lebih nyata, bahkan dibandingin
cewek-cewek disini yang justru bener-bener keliatan bentuknya. Gatau deh sob,
gue belom mikir sampe situ, haha.”
Emang dasar si Komo berisik. Parah, dia sekarang lebih gila
dari biasanya. Seenak jidatnya dia masuk ke kamar gue terus ngomong sama
guling. Mungkin begini kali ya, apa yang orang-orang panggil dengan sebutan
‘jomblo putus asa, tukang ngayal level expert’. Saking putus asanya karena enggak
ada yang mau nemenin dia curhat masalah cewek, sampe-sampe harus ngobrol sama
guling. Dasar sinting.
“Eh, Wan. Lo kalo mau gila dikira-kira, dong. Liat kondisi,
situasi dan lokasi juga. Jangan asal kambuh aja tuh penyakit.”
“Maaf boss. Guling ini tadi memanggil gue untuk melakukan
tugas suci, yaitu curhat dan meratap. Huhuhu nasib... nasib... kenapa, sih,
cewek sekarang pada jual mahal? Kegedean gengsi. Huhuhu, beliin gue gorengan,
dong. Huhuhu”
Iwan, alias si Komo, bener-bener harus dibawa ke rumah sakit
secepatnya. Atau dia bisa membahayakan gue beserta generasi gue.
Ngomongin gila, gue keinget cewek di angkot tadi pagi. Cewek
itu kayaknya sinting, deh. Dia terus-terusan teriak asin. Duduk di pinggir
angkot, kalo lo jarang naik angkot, lo pasti ngira dia kenek, atau lebih
parahnya pasien rumah sakit jiwa. Tapi aromanya manis. Mungkin campuran cologne
strawberry dan vanilla, gue enggak terlalu faham masalah wangi. Tapi gue pernah
nyium bau yang sama di baju mama. Banyak orang bilang mama sudah tenang disana.
Gue masih belum ngerti, disana mana? Memangnya nggak ada penjelasan yang lebih
masuk akal, yang masih bisa dicapai nalar? Gue bener-bener benci kata-kata
‘disana’, apapun bentuknya. Emangnya nggak bisa, cari kata lain yang lebih
mudah dicerna? Lebih baik nggak ngasih petunjuk sama sekali, daripada petunjuk
buntu macam ‘disana’.
Cewek aroma vanilla tersebut lumayan manis, kayaknya siswa
SMP tanggung, deh. Sungutnya nggak
berhenti sampai akhirnya dia disuruh diam sama supir angkot, yang menurut pendapat dia, sih, ganteng. Gue
ga habis-habisnya ngeiiatin tingkah tuh cewek. Agak nggak jelas, tapi
bener-bener menarik. Ini rasanya sama aja kayak nonton sirkus, walaupun
streaming youtube terasa lebih menyenangkan, tapi sirkus ninggalin kesan yang
abadi.
Gue terus merhatiin cewek aneh ini. Jarak gue ke dia lumayan
jauh, gue di bangku deket jendela kanan bagian ujung. Gue pegang tas gue
kencang, merhatiin dia bukan alasan yang tepat buat kecopetan. Tragedi
‘merhatiin tanpa diperhatiin balik’ ini rasanya telah berlangsung selamanya.
Kayak, seumur hidup gue kebayar dengan ngeliat cewek aneh yang nggak jelas
asal-usulnya. Gue mulai nggak nyaman dengan jarak pandang gue yang terlalu
jauh, jadi gue memutuskan buat pindah ke pinggir pintu, duduk bersebrangan dengan
cewek ini, tetap melihat dia dengan penuh obsesi. Mungkin gue udah jadi gila.
Mungkin semua orang gila berawal dari hal yang persis sama.
Cewek ajaib ini benar-benar nggak sadar kalau lagi
diperhatiin, mungkin. Dia ga sama sekali berkutik, tetap serius pada jalanan.
Sesekali dia nengok ke belakang, tapi sama sekali nggak pernah mandang ke
depan. Seakan dia takut, dia nggak punya nyali untuk memandang masa datang.
Menurut gue, sih, dia pribadi yang takut maju. Kurang ambisi, tapi pikirannya
bersiap untuk meledak. Kayak bom, iya, persis banget.
Dalam hitungan detik, dia angkat kepalanya, natap lurus
kedepan. Kedepan, berarti dia natap ke arah gue.
Gue, Damar Adhibutama, ketangkep basah lagi merhatiin dia.
Gue meringis,senyum weakly, sedangakn dia terlihat ga peduli. “Kiri, bang”. Itu kali pertama gue mendengar suaranya. Gue cukup sadar, kalau gue
bukan orang yang berlebihan, dan ini bukan drama, jadi gue nggak akan bilang suaranya mirip bidadari
atau apapun. Suaranya hanya terdengar dekat, kayak antara gue dan dia, sama
sekali gaada pembatas. Kayak penumpang-penumpang yang lain nggak berarti
apa-apa, dan gue juga enggak mau ribet buat menganggap mereka ada. Angkot ini
hanya milik gue dan dia, seenggakya dalam bayangan gue. Sebelum turun, dia
senyum sama gue. Desiran itu ada lagi. Desiran yang nggak tau darimana, dan
lagipula gue juga nggak mau cari tau darimana. “Ngapain lo liat-liat gue? Lo
kira gue nggak sadar? Gue lagi banyak masalah, gue punya kakak mirip kutil yang
sama sekali nggak berkeprimanusiaan dan ninggalin gue sampe gue harus ketemu
dan di liatin sama lo, jadi you better jangan macem-macem”. Bener-bener nggak
terduga. Dengan tatapan sarcastic, dia bilang kalimat setajam itu ke gue.
Bener-bener menarik, cewek ini susah ditebak.
Gue susah ngertiin semuanya. Desiran, obsesi berlebihan, dia
yang bener-bener kayak proyektor, dengan gampangnya ngebuat seluruh perasaan
gue ini jelas. Ini bukan cinta pandangan
pertama, kan? Bukan cinta pandangan pertama yang udah nggak jaman itu, kan?
“Cepet beliin gue gorengan. Kebanyakan bengong lu, nanti
jadi gila”
Suara Iwan yang bahkan lebih sinting dari penampakannya,
berhasil ngancurin lamunan abadi gue.
(Raissa, hari pertama sekolah)
Aku bersungut sepanjang jalan dari rumah ke pangkalan angkot
yang jaraknya nggak terkira. Shinta sempat sms aku tadi, tapi karena enggak ada
pulsa, otomatis aku nggak bisa bales apa-apa. Dia bilang Pak Agus, guru IPS
yang kebetulan pelajaran pertama udah dateng naik motor Vega Z warna
hitam-silver. Aku nggak ngerti apa manfaatnya Shinta ngasih keterangan nama dan
warna motor, karena itu kedengaran nggak begitu penting, seenggaknya menurut ku
nggak terlalu penting, sih. Sisa smsnya sama sekali nggak bisa dicerna,
autocorrect dimana-mana, ada sedikit bahasa alay juga mungkin, karena seumur
hidup aku belum pernah ngeliat kata-kata itu muncul di kamus Bahasa Indonesia.
Bukan berarti aku sudah pernah ngeliat seluruh isi kamus Bahasa Indonesia, tapi
aku tebak kata-kata Shinta memang nggak ada didalamnya. Shinta selalu bilang
“Ini gaya anak gaul sistaaa g-a-o-l”. Aku sempat bingung, kenapa gaul dieja
g-a-o-l, tapi aku nggak mutusin buat nanya ke Shinta. Disamping hal itu emang
nggak penting penting banget, Shinta juga
pasti nggak bakal ambil pusing buat ngejawab pertanyaanku yang , kalau
yang biasa dia bilang sih, “nggak
banget”.
Rumah dengan pangkalan angkot yang Cuma berjarak 5 meter
rasanya mirip 1 mil. Dan ritme jalanku yang rasanya udah menyamai lari burung
onta, ternyata Cuma 10m/jam. Sumpah, ini kali pertama aku balik ke pangkalan
angkot sejak 1 tahun terakhir, tepatnya sejak kak Dhanis punya dan legal buat ngegunain
motor. Tadinya kak Dhanis nolak habis-habisan waktu ditawari motor bebek sama
papa, dia bilang, bebek bukan sesuatu yang patut dijadikan nama motor. Entah
dia yang terlalu dungu, atau aku yang memang kelewat cerdas, tapi yang jelas, waktu itu aku cuma bilang “lo
bener-bener bego, Nis. Dan buat kesekian kalinya, gue bener-bener malu punya
sodara kayak lo”. Aku sempet berharap kalo Dhanis ternyata anak tetangga, atau
siapapun yang jelas bukan bagian dari keluarga sempurnaku ini. Mama yang cantiknya nandingin alam
semesta, papa yang nggak ganteng-ganteng banget tapi satu level dibawah
artis-artis lawas, aku, yang, ya nggak terlalu sempurna, sih tapi nggak seburuk
Dhanis juga. Namun sayang, takdir berkata lain. Di sisi lain, Dhanis lahir
duluan. Aku sama sekali nggak berdaya buat ngelakuin apapun untuk menyingkirkan
dia, asalkan, aku seorang psikopat. Mending jangan terlalu diambil pusing, deh.
Aku sendiri nggak tau arti psikopat itu apa.
5 langkah dari pangkalan angkot yang rasanya mirip jalan di
gurun sahara ini terasa membunuh. Suhu aspal rasanya terus-menerus naik, dan
hal ini membuat kakiku terasa panas, sepanas rambutku yang dikuncir kuda asal.
Bahkan reaksi jalanan terhadap aksi kakiku semakin lama semakin kecil, layaknya
hukum-hukum dalam fisika sama sekali nggak berguna. Aku mendapati ada satu
angkot disana. Penumpangnya nggak begitu penuh, jadi bisa dibilang aku aman.
Berjalan rasanya makin sulit dengan rok biruku yang kepanjangan. Aku masih
bekum berani menggunakan rok ngatung atau apalah teman-temanku menyebutnya
padahal tahun ini adalah tahun pertama aku menginjak kelas 9.
Kelihatannya ada yang menarik dari angkot tersebut. Apa
supirnya lumayan ganteng? Atau ada orang ganteng didalam angkot. Yakin nggak
yakin, aku terus berjalan ke arah angkot. Setengah nggak peduli dengan apa yang
ada didalamnya, aku mulai melangkah masuk. Aku nggak terlalu suka berada dalam
kerumunan, dan angkot benar-benar apa yang aku butuhkan. Di angkot nggak ada yang perlu berdiri, kalau emang tidak bisa
masuk-pun, nggak perlu untuk memaksakan masuk. Angkot
benar-benar transportasi umum yang manis.
“Misi misi....”, belum lama aku masuk, ada lagi orang yang
bilang permisi. Dia mungkin nggak sadar dengan keadaan angkot yang udah nggak
layak nambah penumpang ini. Kehadirannya bener-bener nggak diinginkan. Semakin
lama melihat tingkah penumpang baru ini, darah dikepalaku mulai meletup.
Bisa-bisanya orang ini naik ke atas angkot yang berpenumpang super banyak,
bilang permisi seenaknya seakan-akan ada orang yang bakal jawab “silakan”, dan
minta orang-orang buat menggeser tempat duduk mereka tanpa rasa bersalah. Ih.
Baru saja aku mau protes melihat dia berusaha menggeser
tempat ibu-ibu yang kayaknya sedang hamil tua, punggungku melemas. Sebenarnya
bukan hanya punggung, tapi seluruh tubuhku. Kepalaku masih meletup tapi dalam
artian lain. Penumpang ini, entah kenapa, terasa berbeda. Bukan, bukan berarti
aku suka padanya, sama sekali enggak. Bukan juga aku tertarik, melihat seragam
SMA-nya saja sudah membuatku sedikit ngeri. Dia cowok, itu jelas. Dan
potongannya seperti anak lulusan baru dari SMP. Wajahnya berantakan,mungkin dia sama
sepertiku, terancam di setrap. Dia nyengir, lucu banget. Parah. Aku nggak boleh
senyum, apalagi ikut nyengir. Lagipula, mungkin saja dia nggak berniat nyengir ke
arahku. Dia boleh menganggapku apa saja, boleh juga aneh karena aku duduk dekat
pintu yang membuatku mirip kenek, atau murah karena tepat disebelahku ada om-om
yang menurutku mahasiswa, tapi yang
jelas, kemanapun cengiran imut itu ditujukan, aku enggak boleh senyum. Sama
sekali.
Lama-lama seluruh sesuatunya mulai terasa aneh. Cowok ini
kayaknya memperhatikan aku. Tapi di buku-buku yang pernah aku baca, rata-rata
cewek yang merasa diperhatikan akan mengalihkan tatapan, mencari tahu apakah
yang ia rasakan itu benar, namun pahitnya, yang dia temukan hanya cowok yang
sedang menatap ke arah lain, entah kearah mana yang penting bukan kearah
dirinya yang terlalu berharap. Namun di sisi lain, disaat si cowok menguasai
cerita, dia akan-dengan konyolnya, mengatakan bahwa dia memang melihat kearah
cewek itu, selalu. Namun cewek tersebut tidak pernah memandang balik, dan hal
itu agak melelahkan buat si cowok. Setelah menelaah kisah-kisah ini, aku
berkomitmen terhadap diriku sendiri, bahwa kejadian tersebut nggak akan terjadi
padaku. Enggak sekarang, ataupun selamanya.
Enggak lama setelah aku membiarkan diriku berfikir tentang
cerita-cerita romantis tersebut, si cowok aneh pindah tepat di bangku sebrangku.
Aku baru sadar bahwa penumpang sudah mulai sepi, menyisakan aku, cowok itu,
om-om mahasiswa dan ibu hamil. Dari sini, tanpa harus menatap, dapat terlihat
jelas olehku bahwa si cowok sedang memperhatikanku. Enggak salah lagi. Tapi aku bukan cewek gampang yang akan meleleh ketika
ditatap, dan hal ini berlaku untuk
tatapan macam apapun.
Kelihatannya dia cowok
baik, mengapa kau tidak mencoba tersenyum.
Senyum nggak akan
memperbaiki apapun, itu hanya akan mengganggu perhatiannya padaku. Ditatap
seperti ini rasanya sedikit nyaman, lebih baik begini saja.
Tapi ini kesempatanmu,
bukan saatnya untuk mendahulukan gengsi, cowok ini suka padamu. Dan itu mutlak.
Aku akan pura-pura tak
mendengarmu.
Otak dan hatiku sedang dalam pertengkaran sengit ketika aku
terperangah, menyadari bahwa pipiku mulai merona. Aku tidak ingin dia sadar
akan perubahan ini, dan aku mencoba berfikir. Ku balikkan kepalaku, menghadap
belakang untuk menutupi semuanya. Menutupi perasaanku, menutupi pertengakaran
yang ada di dalam kepalaku, menutupi getaran-getaran dari kakiku yang mulai
melemas. Aku hanya menatap jalanan. Mencoba bertingkah bodoh dengan berteriak
“asinn asiinn” sampai disuruh diam oleh supir angkot, membuatnya sibuk berfikir
tentang betapa anehnya diriku dan akhirnya memutuskan untuk berhenti menatapku.
Sayangnya, hal ini nggak berhasil.
Disaat turun, aku ingin menegaskan bahwa aku sama sekali
nggak suka padanya, atau apapun tentangnya dan juga cara dia memperhatikanku.
Walaupun dalam hati, hal tersebut benar-benar menyenangkan. Aku nggak tau
apakah kata-kata ku terlalu kasar atau enggak, tapi kata-kata yang sudah tak
bisa kuingat lagi itu meluncur begitu saja. Hatiku terasa getir ketika
mengutarakan segalanya, dan kayaknya ada sesuatu yang aku katakan yang membuatnya
terkesan culas, tapi nggak apa-apa, lah. Lagipula, kemungkinnan bertemu lagi
dengannya sangat kecil. Lagipula juga, dia nggak kelihatan terluka.