Jumat, 15 Maret 2013

3


Damar
Permintaan gorengan Iwan menginterupsi segalanya. Pikiran gue menjadi buyar. Untuk sekedar tahu saja, ya. Bahkan di hukum pun gue rela asal bisa melihat cewek nggak jelas, yang tadi sempat gue ceritakan, lebih lama. Tadi seharusnya gue turun lebih dulu dari “dia”. Kelihatannya akan lebih halus kalau kita ganti panggilannya, ya. Tapi seperti ada dorongan supranatural yang membuat gue menunggu, setidaknya sedikit lebih lama untuk memastikan bahwa dia turun dengan selamat. Mungkin agak berlebihan kalau gue melakukan hal ini sampai-sampai dihukum didepan lapangan upacara. Namun gue tetap melakukan hal berlebihan tersebut, tanpa alasan jelas.
Nggak beberapa lama, handphone butut gue bergetar. Ada satu pesan masuk.
Cepet temuin gue di tenda nasi uduk. Gue nggak mau nunggu lebih lama. Ini penting.
Gue mengehla nafas cukup panjang ketika melihat pengirimnya. Karin. Satu-satunya manusia yang ngasih gue seribu alasan untuk nggak kembali kedalam hubungan, semisal pacaran. Satu-satunya cewek, yang dengan lihainya ngebuat gue yang asalnya sudah dungu, makin terlihat dungu. Makhluk yang seperti malaikat luar dalam, dan dengan teknik manipulatif yang tinggi, bisa membuat semua cowok yang melihatnya meleleh, dan setiap makhluk perempuan menatap iri, sambil meratap akan nasib mereka yang tak seberuntung seorang cewek  palsu. Bukan berarti dia cewek jadi-jadian, tapi kelakuannya memiliki tingkat kepalsuan super premium.  Dia bukan manusia, entah apa namanya, yang pasti dia bukan manusia. Karena dia nggak punya perasaan.
“Wan, lo kan sahabat gue, gue mau nanya boleh, kan?”
“Lo itu manusia yang diciptakan Tuhan untuk gue, lo itu harta sob, harta! Dan lo nggak perlu susah-susah bertanya untuk menanyakan apakah lo boleh bertanya atau a—“
“Cukup wan, cukup. Gue hanya minta jawaban, ya atau enggak.”
“Iya, boleh sayang.”
Gue menghela nafas panjang, Gimana caranya gue bisa jadi normal kalau punya temen model  lenong rumpi kayak Iwan. Gue betul-betul nggak ngerti lagi.
“Karin SMS gue, dia ngajakin gue ketemuan di tenda nasi uduk biasa. Menurut lo gue datang atau enggak?”
“Buset mar, buset!”
Gue menunggu lanjutan kehebohan Iwan.Ini yang paling gue suka dari memiliki sahabat seperti  Iwan. Dia nggak akan segan-segan untuk membela gue, bahkan sampai memaki-maki cewek tercantik se-angkatan. Sumpah, walaupun nantinya Iwan menjadi tidak waras atau sejenisnya, dan nggak ada satupun yang mau mengakui dia, gue akan tetap setia disampingnya. Di belakangnya juga tidak masalah.
“Buset mar! Ini gorengan kok sedap amat ya. Gorengnya pake plastik kali, ya. Renyah di luar, lembut didalam!”
Buset. Kalau nanti Iwan benar menjadi gila,walaupun ia memaki gue dialam bawah sadarnya, gue akan tetap di sampingnya. Namun sambil teriak, “AWAS! BERI JALAN! ORANG GILA MAU LEWAT!”
Setelah pertimbangan yang cukup panjang, gue dengan setengah hati melangkah ke tenda nasi uduk di daerah Rawamangun. Tempat yang Karin nyatakan sebagai tenda spesial milik kami berdua. Yang selanjutnya gue ketahui bahwa bukan milik kami berdua saja, gue harus membaginya bersama cowok-cowok lain yang Karin anggap sama spesialnya. Untuk ukuran cewek SMA kaya dengan wajah cantik, Karin sama sekali nggak cocok untuk makan di tenda begini. Tapi dia sengaja. Sengaja menunjukkan kesan bahwa dia adalah cewek yang manis dan nggak membeda-bedakan. Cewek kaya rendah hati yang cerdas dan sempurna. Dan topeng itu berhasil dia pertahankan dari dulu hingga kini, dan mungkin selamanya. Dia nggak cocok dapetin laki-laki manapun, dia nggak berhak. Dia memilih takdirnya untuk merendahkan semua orang, dari sanalah nanti orang-orang memiliki alasan untuk mulai merendahkannya, sebesar dia merendahkan diri orang lain dan tanpa sengaja dirinya sendiri.
“Damar! Aku kangen mar, kangen!”, gue dapati Karin disana, sedang menyesap minuman yang sepertinya baru saja ia pesan. Bisa kutebak, itu lemon tea. Kecut tapi manis, sama seperti kepribadiannya. Bedanya, lemon tea adalah sesuatu yang manis namun diberi rasa asam agar lebih segar, sedangkan Karin merupakan sesuatu yang masam namun diberi kemanisan, membuatnya ta,pak menyegarkan padahal nantinya membuahkan penyesalan.
“Mau ngapain lagi lo?”, gue berjalan kearah Karin, mengumpulkan seluruh nyali gue. Tadinya gue mau memaki dia, tapi hasil dari keberanian gue hanya 4 kata tersebut.  “Iiih judes banget sih, aku-kan cuma mau ketemu kamu ajaaa”, Karin merajuk dengan suara yang sengaja dibuat panjang. Dulu gue suka , sekarang itu terdengar menjijikan.
“Pesen makanan dulu, sana. Habis itu ada yang mau aku omongin. Kamu lagi luang kan? Nggak sibuk?”. Rasanya gue mau bilang kalau gue ada PR sejuta, habis itu harus ambil jam tambahan di 5 tempat, terus nganterin Iwan ke salon buat cukur poni, atau apapun yang bisa membuat gue terlihat sibuk. Tapi sayangnya, ini hari pertama sekolah. Gue habis dihukum dan langsung disuruh pulang,jadi nggak mungkin ada PR apapun yang gue ketahui. Lagipula Iwan juga nggak punya poni. “Yaudah, tunggu sebentar”, gue setengah berlari ke tempat pemilihan ayam dan tahu. Sistem di tenda ini beda dari yang lain, kita mengambil semuanya sendiri, lalu nanti mita abangnya untuk menggoreng. Rasanya menyenangkan untuk nggak terlalu dekat dengan Karin. Walaupun jarak kami sekarang hanya 5 meter, seenggaknya gue tidak perlu melihat wajahnya, yang sama saja denga gue nggak perlu melihat kepalsuannya.
Gue kembali setelah 3 menit, dengan nasi uduk, sambal goreng dan sambal kacang, 2 potong tahu, paha ayam dan lalapan. “Udah, sekarang lo mau ngomongin apa?”, gue bertanya ke Karin, pura-pura nggak sadar kalau dia sama sekali tidak makan, pura-pura tidak memberikan perhatian yang justru dari tadi aku berikan. “Gue putus, Mar. Gue putus sama Niko.” Sama sekali nggak penting. Terus apa masalah gue kalau dia putus? Apa gue harus tanggung jawab?. “Hm, terus?”, sialan. Harusnya gue bisa ngomong lebih dari itu. Harusnya gue nggak se-pengecut ini.





nah baru sampe situ wkwwkwk-_- yang punya usul kritik saran, gue menerima semuanya kok karena gueh baekh sekalehh.

2


(Damar, Awal Januari)
“Apakabar bro? Iya nih, Jakarta sama Bandung emang kayak bumi dan langit. Enggak deh, bumi dan langit agak berlebihan. Lagian, gue gak terlalu ngerti apa maksudnya ‘antara bumi dan langit’. Hmm, iya, disini basi banget gaada lo. Hah? Cewek? Gak lah, cewek Cuma bikin pusing. Mending gue nontonin Megan Fox atau beli buku Kardashian. Lebih nyata, bahkan dibandingin cewek-cewek disini yang justru bener-bener keliatan bentuknya. Gatau deh sob, gue belom mikir sampe situ, haha.”
Emang dasar si Komo berisik. Parah, dia sekarang lebih gila dari biasanya. Seenak jidatnya dia masuk ke kamar gue terus ngomong sama guling. Mungkin begini kali ya, apa yang orang-orang panggil dengan sebutan ‘jomblo putus asa, tukang ngayal level expert’. Saking putus asanya karena enggak ada yang mau nemenin dia curhat masalah cewek, sampe-sampe harus ngobrol sama guling. Dasar sinting.
“Eh, Wan. Lo kalo mau gila dikira-kira, dong. Liat kondisi, situasi dan lokasi juga. Jangan asal kambuh aja tuh penyakit.”
“Maaf boss. Guling ini tadi memanggil gue untuk melakukan tugas suci, yaitu curhat dan meratap. Huhuhu nasib... nasib... kenapa, sih, cewek sekarang pada jual mahal? Kegedean gengsi. Huhuhu, beliin gue gorengan, dong. Huhuhu”
Iwan, alias si Komo, bener-bener harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Atau dia bisa membahayakan gue beserta generasi gue.
Ngomongin gila, gue keinget cewek di angkot tadi pagi. Cewek itu kayaknya sinting, deh. Dia terus-terusan teriak asin. Duduk di pinggir angkot, kalo lo jarang naik angkot, lo pasti ngira dia kenek, atau lebih parahnya pasien rumah sakit jiwa. Tapi aromanya manis. Mungkin campuran cologne strawberry dan vanilla, gue enggak terlalu faham masalah wangi. Tapi gue pernah nyium bau yang sama di baju mama. Banyak orang bilang mama sudah tenang disana. Gue masih belum ngerti, disana mana? Memangnya nggak ada penjelasan yang lebih masuk akal, yang masih bisa dicapai nalar? Gue bener-bener benci kata-kata ‘disana’, apapun bentuknya. Emangnya nggak bisa, cari kata lain yang lebih mudah dicerna? Lebih baik nggak ngasih petunjuk sama sekali, daripada petunjuk buntu macam ‘disana’.
Cewek aroma vanilla tersebut lumayan manis, kayaknya siswa SMP tanggung, deh. Sungutnya nggak  berhenti sampai akhirnya dia disuruh diam sama supir angkot,  yang menurut pendapat dia, sih, ganteng. Gue ga habis-habisnya ngeiiatin tingkah tuh cewek. Agak nggak jelas, tapi bener-bener menarik. Ini rasanya sama aja kayak nonton sirkus, walaupun streaming youtube terasa lebih menyenangkan, tapi sirkus ninggalin kesan yang abadi.
Gue terus merhatiin cewek aneh ini. Jarak gue ke dia lumayan jauh, gue di bangku deket jendela kanan bagian ujung. Gue pegang tas gue kencang, merhatiin dia bukan alasan yang tepat buat kecopetan. Tragedi ‘merhatiin tanpa diperhatiin balik’ ini rasanya telah berlangsung selamanya. Kayak, seumur hidup gue kebayar dengan ngeliat cewek aneh yang nggak jelas asal-usulnya. Gue mulai nggak nyaman dengan jarak pandang gue yang terlalu jauh, jadi gue memutuskan buat pindah ke pinggir pintu, duduk bersebrangan dengan cewek ini, tetap melihat dia dengan penuh obsesi. Mungkin gue udah jadi gila. Mungkin semua orang gila berawal dari hal yang persis sama.
Cewek ajaib ini benar-benar nggak sadar kalau lagi diperhatiin, mungkin. Dia ga sama sekali berkutik, tetap serius pada jalanan. Sesekali dia nengok ke belakang, tapi sama sekali nggak pernah mandang ke depan. Seakan dia takut, dia nggak punya nyali untuk memandang masa datang. Menurut gue, sih, dia pribadi yang takut maju. Kurang ambisi, tapi pikirannya bersiap untuk meledak. Kayak bom, iya, persis banget.
Dalam hitungan detik, dia angkat kepalanya, natap lurus kedepan. Kedepan, berarti dia natap ke arah gue.
Gue, Damar Adhibutama, ketangkep basah lagi merhatiin dia. Gue meringis,senyum weakly, sedangakn dia terlihat ga peduli. “Kiri, bang”. Itu kali pertama gue mendengar suaranya. Gue cukup sadar, kalau gue bukan orang yang berlebihan, dan ini bukan drama, jadi gue nggak akan bilang suaranya mirip bidadari atau apapun. Suaranya hanya terdengar dekat, kayak antara gue dan dia, sama sekali gaada pembatas. Kayak penumpang-penumpang yang lain nggak berarti apa-apa, dan gue juga enggak mau ribet buat menganggap mereka ada. Angkot ini hanya milik gue dan dia, seenggakya dalam bayangan gue. Sebelum turun, dia senyum sama gue. Desiran itu ada lagi. Desiran yang nggak tau darimana, dan lagipula gue juga nggak mau cari tau darimana. “Ngapain lo liat-liat gue? Lo kira gue nggak sadar? Gue lagi banyak masalah, gue punya kakak mirip kutil yang sama sekali nggak berkeprimanusiaan dan ninggalin gue sampe gue harus ketemu dan di liatin sama lo, jadi you better jangan macem-macem”. Bener-bener nggak terduga. Dengan tatapan sarcastic, dia bilang kalimat setajam itu ke gue. Bener-bener menarik, cewek ini susah ditebak.
Gue susah ngertiin semuanya. Desiran, obsesi berlebihan, dia yang bener-bener kayak proyektor, dengan gampangnya ngebuat seluruh perasaan gue ini jelas.  Ini bukan cinta pandangan pertama, kan? Bukan cinta pandangan pertama yang udah nggak jaman itu, kan?
“Cepet beliin gue gorengan. Kebanyakan bengong lu, nanti jadi gila”
Suara Iwan yang bahkan lebih sinting dari penampakannya, berhasil ngancurin lamunan abadi gue.










(Raissa, hari pertama sekolah)
Aku bersungut sepanjang jalan dari rumah ke pangkalan angkot yang jaraknya nggak terkira. Shinta sempat sms aku tadi, tapi karena enggak ada pulsa, otomatis aku nggak bisa bales apa-apa. Dia bilang Pak Agus, guru IPS yang kebetulan pelajaran pertama udah dateng naik motor Vega Z warna hitam-silver. Aku nggak ngerti apa manfaatnya Shinta ngasih keterangan nama dan warna motor, karena itu kedengaran nggak begitu penting, seenggaknya menurut ku nggak terlalu penting, sih. Sisa smsnya sama sekali nggak bisa dicerna, autocorrect dimana-mana, ada sedikit bahasa alay juga mungkin, karena seumur hidup aku belum pernah ngeliat kata-kata itu muncul di kamus Bahasa Indonesia. Bukan berarti aku sudah pernah ngeliat seluruh isi kamus Bahasa Indonesia, tapi aku tebak kata-kata Shinta memang nggak ada didalamnya. Shinta selalu bilang “Ini gaya anak gaul sistaaa g-a-o-l”. Aku sempat bingung, kenapa gaul dieja g-a-o-l, tapi aku nggak mutusin buat nanya ke Shinta. Disamping hal itu emang nggak penting penting banget, Shinta juga  pasti nggak bakal ambil pusing buat ngejawab pertanyaanku yang , kalau yang biasa dia  bilang sih, “nggak banget”.
Rumah dengan pangkalan angkot yang Cuma berjarak 5 meter rasanya mirip 1 mil. Dan ritme jalanku yang rasanya udah menyamai lari burung onta, ternyata Cuma 10m/jam. Sumpah, ini kali pertama aku balik ke pangkalan angkot sejak 1 tahun terakhir, tepatnya sejak kak Dhanis punya dan legal buat ngegunain motor. Tadinya kak Dhanis nolak habis-habisan waktu ditawari motor bebek sama papa, dia bilang, bebek bukan sesuatu yang patut dijadikan nama motor. Entah dia yang terlalu dungu, atau aku yang memang kelewat cerdas, tapi  yang jelas, waktu itu aku cuma bilang “lo bener-bener bego, Nis. Dan buat kesekian kalinya, gue bener-bener malu punya sodara kayak lo”. Aku sempet berharap kalo Dhanis ternyata anak tetangga, atau siapapun yang jelas bukan bagian dari keluarga sempurnaku  ini. Mama yang cantiknya nandingin alam semesta, papa yang nggak ganteng-ganteng banget tapi satu level dibawah artis-artis lawas, aku, yang, ya nggak terlalu sempurna, sih tapi nggak seburuk Dhanis juga. Namun sayang, takdir berkata lain. Di sisi lain, Dhanis lahir duluan. Aku sama sekali nggak berdaya buat ngelakuin apapun untuk menyingkirkan dia, asalkan, aku seorang psikopat. Mending jangan terlalu diambil pusing, deh. Aku sendiri nggak tau arti psikopat itu apa.
5 langkah dari pangkalan angkot yang rasanya mirip jalan di gurun sahara ini terasa membunuh. Suhu aspal rasanya terus-menerus naik, dan hal ini membuat kakiku terasa panas, sepanas rambutku yang dikuncir kuda asal. Bahkan reaksi jalanan terhadap aksi kakiku semakin lama semakin kecil, layaknya hukum-hukum dalam fisika sama sekali nggak berguna. Aku mendapati ada satu angkot disana. Penumpangnya nggak begitu penuh, jadi bisa dibilang aku aman. Berjalan rasanya makin sulit dengan rok biruku yang kepanjangan. Aku masih bekum berani menggunakan rok ngatung atau apalah teman-temanku menyebutnya padahal tahun ini adalah tahun pertama aku menginjak kelas 9.
Kelihatannya ada yang menarik dari angkot tersebut. Apa supirnya lumayan ganteng? Atau ada orang ganteng didalam angkot. Yakin nggak yakin, aku terus berjalan ke arah angkot. Setengah nggak peduli dengan apa yang ada didalamnya, aku mulai melangkah masuk. Aku nggak terlalu suka berada dalam kerumunan, dan angkot benar-benar apa yang aku butuhkan. Di angkot  nggak ada yang  perlu berdiri, kalau emang tidak bisa masuk-pun, nggak perlu untuk memaksakan masuk.  Angkot  benar-benar transportasi umum yang manis.
“Misi misi....”, belum lama aku masuk, ada lagi orang yang bilang permisi. Dia mungkin nggak sadar dengan keadaan angkot yang udah nggak layak nambah penumpang ini. Kehadirannya bener-bener nggak diinginkan. Semakin lama melihat tingkah penumpang baru ini, darah dikepalaku mulai meletup. Bisa-bisanya orang ini naik ke atas angkot yang berpenumpang super banyak, bilang permisi seenaknya seakan-akan ada orang yang bakal jawab “silakan”, dan minta orang-orang buat menggeser tempat duduk mereka tanpa rasa bersalah. Ih.
Baru saja aku mau protes melihat dia berusaha menggeser tempat ibu-ibu yang kayaknya sedang hamil tua, punggungku melemas. Sebenarnya bukan hanya punggung, tapi seluruh tubuhku. Kepalaku masih meletup tapi dalam artian lain. Penumpang ini, entah kenapa, terasa berbeda. Bukan, bukan berarti aku suka padanya, sama sekali enggak. Bukan juga aku tertarik, melihat seragam SMA-nya saja sudah membuatku sedikit ngeri. Dia cowok, itu jelas. Dan potongannya seperti anak lulusan baru dari SMP.  Wajahnya berantakan,mungkin dia sama sepertiku, terancam di setrap. Dia nyengir, lucu banget. Parah. Aku nggak boleh senyum, apalagi ikut nyengir. Lagipula, mungkin saja dia nggak berniat nyengir ke arahku. Dia boleh menganggapku apa saja, boleh juga aneh karena aku duduk dekat pintu yang membuatku mirip kenek, atau murah karena tepat disebelahku ada om-om yang  menurutku mahasiswa, tapi yang jelas, kemanapun cengiran imut itu ditujukan, aku enggak boleh senyum. Sama sekali.
Lama-lama seluruh sesuatunya mulai terasa aneh. Cowok ini kayaknya memperhatikan aku. Tapi di buku-buku yang pernah aku baca, rata-rata cewek yang merasa diperhatikan akan mengalihkan tatapan, mencari tahu apakah yang ia rasakan itu benar, namun pahitnya, yang dia temukan hanya cowok yang sedang menatap ke arah lain, entah kearah mana yang penting bukan kearah dirinya yang terlalu berharap. Namun di sisi lain, disaat si cowok menguasai cerita, dia akan-dengan konyolnya, mengatakan bahwa dia memang melihat kearah cewek itu, selalu. Namun cewek tersebut tidak pernah memandang balik, dan hal itu agak melelahkan buat si cowok. Setelah menelaah kisah-kisah ini, aku berkomitmen terhadap diriku sendiri, bahwa kejadian tersebut nggak akan terjadi padaku. Enggak sekarang, ataupun selamanya.
Enggak lama setelah aku membiarkan diriku berfikir tentang cerita-cerita romantis tersebut, si cowok aneh pindah tepat di bangku sebrangku. Aku baru sadar bahwa penumpang sudah mulai sepi, menyisakan aku, cowok itu, om-om mahasiswa dan ibu hamil. Dari sini, tanpa harus menatap, dapat terlihat jelas olehku bahwa si cowok sedang memperhatikanku. Enggak salah lagi. Tapi aku  bukan cewek gampang yang akan meleleh ketika ditatap,  dan hal ini berlaku untuk tatapan macam apapun.
Kelihatannya dia cowok baik, mengapa kau tidak mencoba tersenyum.
Senyum nggak akan memperbaiki apapun, itu hanya akan mengganggu perhatiannya padaku. Ditatap seperti ini rasanya sedikit nyaman, lebih baik begini saja.
Tapi ini kesempatanmu, bukan saatnya untuk mendahulukan gengsi, cowok ini suka padamu. Dan itu mutlak.
Aku akan pura-pura tak mendengarmu.
Otak dan hatiku sedang dalam pertengkaran sengit ketika aku terperangah, menyadari bahwa pipiku mulai merona. Aku tidak ingin dia sadar akan perubahan ini, dan aku mencoba berfikir. Ku balikkan kepalaku, menghadap belakang untuk menutupi semuanya. Menutupi perasaanku, menutupi pertengakaran yang ada di dalam kepalaku, menutupi getaran-getaran dari kakiku yang mulai melemas. Aku hanya menatap jalanan. Mencoba bertingkah bodoh dengan berteriak “asinn asiinn” sampai disuruh diam oleh supir angkot, membuatnya sibuk berfikir tentang betapa anehnya diriku dan akhirnya memutuskan untuk berhenti menatapku. Sayangnya, hal ini nggak berhasil.
Disaat turun, aku ingin menegaskan bahwa aku sama sekali nggak suka padanya, atau apapun tentangnya dan juga cara dia memperhatikanku. Walaupun dalam hati, hal tersebut benar-benar menyenangkan. Aku nggak tau apakah kata-kata ku terlalu kasar atau enggak, tapi kata-kata yang sudah tak bisa kuingat lagi itu meluncur begitu saja. Hatiku terasa getir ketika mengutarakan segalanya, dan kayaknya ada sesuatu yang aku katakan yang membuatnya terkesan culas, tapi nggak apa-apa, lah. Lagipula, kemungkinnan bertemu lagi dengannya sangat kecil. Lagipula juga, dia nggak kelihatan terluka.




hai

jadi gue mau nulis cerita yang sekitar 3 bulan lalu gue buat dan ga rampung-rampung, udah 2 bagian dan mau langsung gue tulis sekalian semuanya. toh belom ada ujungnya kan jadi org org masih ada kesempatan untuk nebak-nebak lah wkwk.

1.

 Mungkin kamu bagian dari diriku layaknya air merupakan bagian dari ‘cat air’. Namun cobalah berfikir, seenggaknya sedikit relaistis. Air memang bagian dari cat air, namun pada dasarnya mereka diciptakan tak selamanya untuk saling melengkapi. Cat akan membutuhkan air hari ini, tapi di lain waktu, dia bisa saja begitu, benar-benar membenci air. Anak bayipun –yang sudah memiliki akal. Tunggu, apa ada anak bayi yang memiliki akal? Ini agak sedikit mengingatkanku pada jonathan, anak tetangga sebelah yang super bawel. Mereka bilang Jonathan bayi cerdas padahal mana ada, sih bayi yang cerdas? Semua bayi rasanya sama saja, mereka sama-sama bayi! Jangan mengharapkan lebih karena bahkan kadang wajah merekapun tak bisa dibedakan. Kembali ke topik pembicaraan. Siapapun pasti mengerti bahwa cat yang sudah mengering, kita fokuskan hal ini ke cat air, okay? Jadi jangan coba-coba mencela omonganku, pasti akan luntur jika kembali diberikan air. Dan kutebak, satu-satunya kebencian cat adalah pada air. Walaupun pada awalnya dia mencintai air. Mengapa omongan ini terlihat ribet, sih. Inikan hanya mengenai cat air. Oh ya! Aku lupa sesuatu yang penting. Dan disaat hidupnya tengah penuh romansa dengan air, cat harus rela dilempar kearah kanvas, bagaikan terjebak kenyataan, cat tak dapat melakukan usaha apapun. Lagipula dia tak bisa berteriak, punya mulut saja enggak. Tolong ya, ini bukan cerita imaginer sinting yang terus-menerus menceritakan cerita tentang cat air gak jelas yang entah dimana ujungnya. Nah, sekarang adalah bagian paling seru. Cat mulai menaruh rasa pada kanvas, dan kanvas merasa beruntung. Setidaknya ada yang sudi mencintai kanvas polos, sama sekali gak menarik. Dibagian ini pasti pikiranmu mulai terbuka. Air sebenarnya tidak secara sengaja ingin menghancurkan cat. Ia sebenarnya ingin merebut kembali cat dari kanvas keparat yang dengan berani-berani merebut kekasih hatinya.  Namun sialnya, bukannya menghancurkan kanvas, tanpa disadari pembalasan dendamnya malah membuat cat sengsara. Ini tragis, teman. Ini targis! Kalian harusnya menangis seperti habis putus cinta dibagian ini! Namun dalam hati kecilnya, air tidak bersedih. Karena pada akhirnya, cat luntur bersamanya. Pada akhirnya mereka tetap bersama. Aku sedikit lebih tertarik pada cerita ini daripada cerita cinta remaja, yang ceritanya selalu duplikat romeo dan juliet atau apalah yang lain, aku tidak begitu tergila-gila pada cerita cinta. Aku lebih memilih cerita-cerita mystery-fantasy seperti starters atau the hunger games atau masterpiece-nya James Dashner, The Maze Runner. Trilogynya benar-benar membiusku seperti tikus percobaan. Tapi, aku rasa tulisanku ini tak akan berujung menjadi cerita misteri. Mungkin roman, malah. Tapi bukan juga roman-roman yang membuat mual. Roman cat air sepertinya boleh juga.  Dibuat agak sedikit pahit, karena terlalu banyak manis terkadang membuatmu tak sadar bahwa hidup ini rintangan, bukan tempat untuk bersenang-senang seperti presepsi anak-anak muda zaman sekarang. Lebih baik kita mulai sekarang, ya. Prolog ini terlihat semakin membosankan.







(Raissa, awal Januari)
 Kau kira bakal turun salju, ya? Persetan dengan itu, aku juga ingin merasakan salju, meremasnya hingga menjadi bulir-bulir, melempar-lemparkannya kemana arah, persis seperti orang mabuk. Atau lebih parahnya menahan pintu rumah Bu Ranti, kepala arisan yang membosankan dan ya, well, sedikit galak dengan 1 ton salju dari aalat pengeruk salju superku, yang suatu saat nanti pasti akan aku beli dengan uangku sendiri. Yang terpenting, Bu Ranti ini sedikit nyebelin. Sedikitku inii bisa dihitung seperti lumayan banyak, ya. Tapi sayangnya ini Indonesia, dan mengerjai Bu Ranti merupakan ide yang cukup buruk. Januari awal selalu terasa dingin karena hujan terus-terusan datang, dan percaya deh, hujan benar-benar membuat semua orang terganggu. Pernah sekali, Radit, anak pertama Bu Ranti, sampai harus dilarikan ke rumah sakit dan divonis gegar otak karena terlalu banyak main hujan. Sebenarnya bukan karena hujan, sih. Dia terpeleset di kamar mandi. Tapi, kan, itu karena air. Air dan hujan sepertinya sama saja. Entah aku yang dungu atau kalian yang terlalu pintar, tapi cerita tentang Radit ini kayaknya sedikit nggak nyambung. Lain halnya dengan Jeremy, aku nggak tahu dia anak siapa ataupun dari mana karena memang aku bukan orang yang suka ingin tahu. Yang penting, kata mama, dia sempat dibilang sinting, karena suka teriak-teriak kalau lagi hujan. Jujur saja, menurutku itu nggak terlalu absurd. Orang-orang memang suka membesar-besarkan apapun, terutama bagi ibu-ibu tukang rumpi yang  besar di era pemyayi festival semacam Emilia Contessa, yang kata mamaku, sih, namanya dijadikan nama majalah. Atau bisa juga bapak-bapak yang masih rutin senam jantung sehat. Mereka rumpi banget, deh. Tapi mereka justru orang-orang paling baik yang aku kenal di sini. Lain dengan bu Ranti. Bukannya aku mau membuat citra bu Ranti buruk, tapi memang begitu kenyataannya. Dan kenyataan ga selamanya manis, kan?
“Jangan ngelamun terus. Cepetan makannya, kalo 30 detik lagi belum selesai, seneng apa engga, lo gue tinggal. Ya lagipula, kalo lo gak seneng juga nggak masalah, sih”. Dhanis emang gila. Dia kira nasi goreng keasinan segini banyak bakal habis dalam 30 detik? Sampe sapi bisa terbang juga nggak akan mungkin!. “Lo mau nyoba bunuh gue, ya? Atau lebih parahnya, lo mau bikin gue naik bajaj yang abangnya genit-genit di pangkalan depan? Hiih, sorry ya. Mending gue nyari angkot yang supirnya ganteng”, aku coba buat berkilah. Mana harga diri ku sebagai cewek? Kakak yang spesiesnya kayak Dhanis ini bener-bener harus punah suatu saat nanti. Mau punah besok juga aku nggak keberatan. “Satu.... Dua....”
“Lo waras gak sih nis? Sabar dikit dong!”
“Tiga... Empat”
“Eh ngapain masih ngitung! Bentar lagi selesai kok, ini asin banget gue enggak kuat kalo cepet-cepet!”
“Lima... Enam...”
“Eh sumpah ya nis lo gila! Lo mau gue makan cepet-cepet sambil ngomong kayak gini, terus akhirnya makanan gue salah masuk ke tenggorokan gara-gara katup epiglotis gue kebuka? Bisa-bisa gue masuk koran gara-gara mati keselek nasi goreng kebanyakan garem! Lo mau nis, adek tersayang lo ini mati mengenaskan? Tega banget lo.”
“Tiga puluh. Jangan bawel makanya. Mending tadi lo cepet-cepet makan daripada ceramah masalah katup-katupan. Lagian juga muka kayak lo mah gabakal mungkin masuk koran. Profit perusahaan korannya bisa turun, terus dalam seminggu bisa bankrupt.”
“Terserah deh lo mau ngomong apa. Mending gue naik angkot daripada diboncengin sama lo. Maaf aja, ya.”
“Gue juga mending pergi sendiri daripada ngeboncengin lo, Sa. Berat. Ngomong-ngomong, muka lo udah mulai bulet, tuh. Badan lo juga makin oke, makin kayak pesumo. Taruhan sama gue, besok lo bakal dikontrak buat ikut gulat atau paling enggak smack down. Udah ah, gue udah menyia-nyiakan waktu gue buat hal kurang bermanfaat. Byeee”
Kurang ajar. Kalau ini permainan catur, sekarang  aku bener-bener dibuat skakmat sama Dhanis. Terpaksa  hari ini naik angkot. Mana uang bulanan makin tipis, mama sama papa sudah berangkat kerja bareng layaknya pasangan bahagia, Dhanis udah jalan ke kampusnya, seneng-seneng sama ceweknya. Aku malah harus susah-susah jalan ke pangkalan depan, di sekolah juga cuma jadi anak gak dipandang.  Boro-boro punya pacar, orang-orang aja pada ngeri deket-deket. Paling hanya Shinta yang sudi jadi temanku. Anak separuh eksis yang nggak jelas genusnya. Aku ini bagaikan bayangan. Cuma bayangan! Dan hal tersebut sama sekali enggak terdengar hiperbola. Aku memang transparan, gak ada juga yang tau aku ada. Trgaisnya, ini lebih parah. Gak ada orang lain selain Shinta yang mau ngakuin kalau aku ada.