Jumat, 15 Maret 2013

3


Damar
Permintaan gorengan Iwan menginterupsi segalanya. Pikiran gue menjadi buyar. Untuk sekedar tahu saja, ya. Bahkan di hukum pun gue rela asal bisa melihat cewek nggak jelas, yang tadi sempat gue ceritakan, lebih lama. Tadi seharusnya gue turun lebih dulu dari “dia”. Kelihatannya akan lebih halus kalau kita ganti panggilannya, ya. Tapi seperti ada dorongan supranatural yang membuat gue menunggu, setidaknya sedikit lebih lama untuk memastikan bahwa dia turun dengan selamat. Mungkin agak berlebihan kalau gue melakukan hal ini sampai-sampai dihukum didepan lapangan upacara. Namun gue tetap melakukan hal berlebihan tersebut, tanpa alasan jelas.
Nggak beberapa lama, handphone butut gue bergetar. Ada satu pesan masuk.
Cepet temuin gue di tenda nasi uduk. Gue nggak mau nunggu lebih lama. Ini penting.
Gue mengehla nafas cukup panjang ketika melihat pengirimnya. Karin. Satu-satunya manusia yang ngasih gue seribu alasan untuk nggak kembali kedalam hubungan, semisal pacaran. Satu-satunya cewek, yang dengan lihainya ngebuat gue yang asalnya sudah dungu, makin terlihat dungu. Makhluk yang seperti malaikat luar dalam, dan dengan teknik manipulatif yang tinggi, bisa membuat semua cowok yang melihatnya meleleh, dan setiap makhluk perempuan menatap iri, sambil meratap akan nasib mereka yang tak seberuntung seorang cewek  palsu. Bukan berarti dia cewek jadi-jadian, tapi kelakuannya memiliki tingkat kepalsuan super premium.  Dia bukan manusia, entah apa namanya, yang pasti dia bukan manusia. Karena dia nggak punya perasaan.
“Wan, lo kan sahabat gue, gue mau nanya boleh, kan?”
“Lo itu manusia yang diciptakan Tuhan untuk gue, lo itu harta sob, harta! Dan lo nggak perlu susah-susah bertanya untuk menanyakan apakah lo boleh bertanya atau a—“
“Cukup wan, cukup. Gue hanya minta jawaban, ya atau enggak.”
“Iya, boleh sayang.”
Gue menghela nafas panjang, Gimana caranya gue bisa jadi normal kalau punya temen model  lenong rumpi kayak Iwan. Gue betul-betul nggak ngerti lagi.
“Karin SMS gue, dia ngajakin gue ketemuan di tenda nasi uduk biasa. Menurut lo gue datang atau enggak?”
“Buset mar, buset!”
Gue menunggu lanjutan kehebohan Iwan.Ini yang paling gue suka dari memiliki sahabat seperti  Iwan. Dia nggak akan segan-segan untuk membela gue, bahkan sampai memaki-maki cewek tercantik se-angkatan. Sumpah, walaupun nantinya Iwan menjadi tidak waras atau sejenisnya, dan nggak ada satupun yang mau mengakui dia, gue akan tetap setia disampingnya. Di belakangnya juga tidak masalah.
“Buset mar! Ini gorengan kok sedap amat ya. Gorengnya pake plastik kali, ya. Renyah di luar, lembut didalam!”
Buset. Kalau nanti Iwan benar menjadi gila,walaupun ia memaki gue dialam bawah sadarnya, gue akan tetap di sampingnya. Namun sambil teriak, “AWAS! BERI JALAN! ORANG GILA MAU LEWAT!”
Setelah pertimbangan yang cukup panjang, gue dengan setengah hati melangkah ke tenda nasi uduk di daerah Rawamangun. Tempat yang Karin nyatakan sebagai tenda spesial milik kami berdua. Yang selanjutnya gue ketahui bahwa bukan milik kami berdua saja, gue harus membaginya bersama cowok-cowok lain yang Karin anggap sama spesialnya. Untuk ukuran cewek SMA kaya dengan wajah cantik, Karin sama sekali nggak cocok untuk makan di tenda begini. Tapi dia sengaja. Sengaja menunjukkan kesan bahwa dia adalah cewek yang manis dan nggak membeda-bedakan. Cewek kaya rendah hati yang cerdas dan sempurna. Dan topeng itu berhasil dia pertahankan dari dulu hingga kini, dan mungkin selamanya. Dia nggak cocok dapetin laki-laki manapun, dia nggak berhak. Dia memilih takdirnya untuk merendahkan semua orang, dari sanalah nanti orang-orang memiliki alasan untuk mulai merendahkannya, sebesar dia merendahkan diri orang lain dan tanpa sengaja dirinya sendiri.
“Damar! Aku kangen mar, kangen!”, gue dapati Karin disana, sedang menyesap minuman yang sepertinya baru saja ia pesan. Bisa kutebak, itu lemon tea. Kecut tapi manis, sama seperti kepribadiannya. Bedanya, lemon tea adalah sesuatu yang manis namun diberi rasa asam agar lebih segar, sedangkan Karin merupakan sesuatu yang masam namun diberi kemanisan, membuatnya ta,pak menyegarkan padahal nantinya membuahkan penyesalan.
“Mau ngapain lagi lo?”, gue berjalan kearah Karin, mengumpulkan seluruh nyali gue. Tadinya gue mau memaki dia, tapi hasil dari keberanian gue hanya 4 kata tersebut.  “Iiih judes banget sih, aku-kan cuma mau ketemu kamu ajaaa”, Karin merajuk dengan suara yang sengaja dibuat panjang. Dulu gue suka , sekarang itu terdengar menjijikan.
“Pesen makanan dulu, sana. Habis itu ada yang mau aku omongin. Kamu lagi luang kan? Nggak sibuk?”. Rasanya gue mau bilang kalau gue ada PR sejuta, habis itu harus ambil jam tambahan di 5 tempat, terus nganterin Iwan ke salon buat cukur poni, atau apapun yang bisa membuat gue terlihat sibuk. Tapi sayangnya, ini hari pertama sekolah. Gue habis dihukum dan langsung disuruh pulang,jadi nggak mungkin ada PR apapun yang gue ketahui. Lagipula Iwan juga nggak punya poni. “Yaudah, tunggu sebentar”, gue setengah berlari ke tempat pemilihan ayam dan tahu. Sistem di tenda ini beda dari yang lain, kita mengambil semuanya sendiri, lalu nanti mita abangnya untuk menggoreng. Rasanya menyenangkan untuk nggak terlalu dekat dengan Karin. Walaupun jarak kami sekarang hanya 5 meter, seenggaknya gue tidak perlu melihat wajahnya, yang sama saja denga gue nggak perlu melihat kepalsuannya.
Gue kembali setelah 3 menit, dengan nasi uduk, sambal goreng dan sambal kacang, 2 potong tahu, paha ayam dan lalapan. “Udah, sekarang lo mau ngomongin apa?”, gue bertanya ke Karin, pura-pura nggak sadar kalau dia sama sekali tidak makan, pura-pura tidak memberikan perhatian yang justru dari tadi aku berikan. “Gue putus, Mar. Gue putus sama Niko.” Sama sekali nggak penting. Terus apa masalah gue kalau dia putus? Apa gue harus tanggung jawab?. “Hm, terus?”, sialan. Harusnya gue bisa ngomong lebih dari itu. Harusnya gue nggak se-pengecut ini.





nah baru sampe situ wkwwkwk-_- yang punya usul kritik saran, gue menerima semuanya kok karena gueh baekh sekalehh.

Tidak ada komentar: