Damar
Permintaan gorengan Iwan menginterupsi segalanya. Pikiran
gue menjadi buyar. Untuk sekedar tahu saja, ya. Bahkan di hukum pun gue rela
asal bisa melihat cewek nggak jelas, yang tadi sempat gue ceritakan, lebih
lama. Tadi seharusnya gue turun lebih dulu dari “dia”. Kelihatannya akan lebih
halus kalau kita ganti panggilannya, ya. Tapi seperti ada dorongan supranatural
yang membuat gue menunggu, setidaknya sedikit lebih lama untuk memastikan bahwa
dia turun dengan selamat. Mungkin agak berlebihan kalau gue melakukan hal ini
sampai-sampai dihukum didepan lapangan upacara. Namun gue tetap melakukan hal
berlebihan tersebut, tanpa alasan jelas.
Nggak beberapa lama, handphone butut gue bergetar. Ada satu
pesan masuk.
Cepet temuin gue di
tenda nasi uduk. Gue nggak mau nunggu lebih lama. Ini penting.
Gue mengehla nafas cukup panjang ketika melihat pengirimnya.
Karin. Satu-satunya manusia yang ngasih gue seribu alasan untuk nggak kembali
kedalam hubungan, semisal pacaran. Satu-satunya cewek, yang dengan lihainya
ngebuat gue yang asalnya sudah dungu, makin terlihat dungu. Makhluk yang
seperti malaikat luar dalam, dan dengan teknik manipulatif yang tinggi, bisa
membuat semua cowok yang melihatnya meleleh, dan setiap makhluk perempuan
menatap iri, sambil meratap akan nasib mereka yang tak seberuntung seorang
cewek palsu. Bukan berarti dia cewek
jadi-jadian, tapi kelakuannya memiliki tingkat kepalsuan super premium. Dia bukan manusia, entah apa namanya, yang
pasti dia bukan manusia. Karena dia nggak punya perasaan.
“Wan, lo kan sahabat gue, gue mau nanya boleh, kan?”
“Lo itu manusia yang diciptakan Tuhan untuk gue, lo itu
harta sob, harta! Dan lo nggak perlu susah-susah bertanya untuk menanyakan
apakah lo boleh bertanya atau a—“
“Cukup wan, cukup. Gue hanya minta jawaban, ya atau enggak.”
“Iya, boleh sayang.”
Gue menghela nafas panjang, Gimana caranya gue bisa jadi
normal kalau punya temen model lenong
rumpi kayak Iwan. Gue betul-betul nggak ngerti lagi.
“Karin SMS gue, dia ngajakin gue ketemuan di tenda nasi uduk
biasa. Menurut lo gue datang atau enggak?”
“Buset mar, buset!”
Gue menunggu lanjutan kehebohan Iwan.Ini yang paling gue
suka dari memiliki sahabat seperti Iwan.
Dia nggak akan segan-segan untuk membela gue, bahkan sampai memaki-maki cewek
tercantik se-angkatan. Sumpah, walaupun nantinya Iwan menjadi tidak waras atau
sejenisnya, dan nggak ada satupun yang mau mengakui dia, gue akan tetap setia
disampingnya. Di belakangnya juga tidak masalah.
“Buset mar! Ini gorengan kok sedap amat ya. Gorengnya pake
plastik kali, ya. Renyah di luar, lembut didalam!”
Buset. Kalau nanti Iwan benar menjadi gila,walaupun ia
memaki gue dialam bawah sadarnya, gue akan tetap di sampingnya. Namun sambil
teriak, “AWAS! BERI JALAN! ORANG GILA MAU LEWAT!”
Setelah pertimbangan yang cukup panjang, gue dengan setengah
hati melangkah ke tenda nasi uduk di daerah Rawamangun. Tempat yang Karin
nyatakan sebagai tenda spesial milik kami berdua. Yang selanjutnya gue ketahui
bahwa bukan milik kami berdua saja, gue harus membaginya bersama cowok-cowok
lain yang Karin anggap sama spesialnya. Untuk ukuran cewek SMA kaya dengan
wajah cantik, Karin sama sekali nggak cocok untuk makan di tenda begini. Tapi
dia sengaja. Sengaja menunjukkan kesan bahwa dia adalah cewek yang manis dan
nggak membeda-bedakan. Cewek kaya rendah hati yang cerdas dan sempurna. Dan
topeng itu berhasil dia pertahankan dari dulu hingga kini, dan mungkin
selamanya. Dia nggak cocok dapetin laki-laki manapun, dia nggak berhak. Dia
memilih takdirnya untuk merendahkan semua orang, dari sanalah nanti orang-orang
memiliki alasan untuk mulai merendahkannya, sebesar dia merendahkan diri orang
lain dan tanpa sengaja dirinya sendiri.
“Damar! Aku kangen mar, kangen!”, gue dapati Karin disana,
sedang menyesap minuman yang sepertinya baru saja ia pesan. Bisa kutebak, itu
lemon tea. Kecut tapi manis, sama seperti kepribadiannya. Bedanya, lemon tea
adalah sesuatu yang manis namun diberi rasa asam agar lebih segar, sedangkan
Karin merupakan sesuatu yang masam namun diberi kemanisan, membuatnya ta,pak
menyegarkan padahal nantinya membuahkan penyesalan.
“Mau ngapain lagi lo?”, gue berjalan kearah Karin,
mengumpulkan seluruh nyali gue. Tadinya gue mau memaki dia, tapi hasil dari
keberanian gue hanya 4 kata tersebut.
“Iiih judes banget sih, aku-kan cuma mau ketemu kamu ajaaa”, Karin merajuk
dengan suara yang sengaja dibuat panjang. Dulu gue suka , sekarang itu
terdengar menjijikan.
“Pesen makanan dulu, sana. Habis itu ada yang mau aku
omongin. Kamu lagi luang kan? Nggak sibuk?”. Rasanya gue mau bilang kalau gue
ada PR sejuta, habis itu harus ambil jam tambahan di 5 tempat, terus nganterin
Iwan ke salon buat cukur poni, atau apapun yang bisa membuat gue terlihat
sibuk. Tapi sayangnya, ini hari pertama sekolah. Gue habis dihukum dan langsung
disuruh pulang,jadi nggak mungkin ada PR apapun yang gue ketahui. Lagipula Iwan
juga nggak punya poni. “Yaudah, tunggu sebentar”, gue setengah berlari ke
tempat pemilihan ayam dan tahu. Sistem di tenda ini beda dari yang lain, kita
mengambil semuanya sendiri, lalu nanti mita abangnya untuk menggoreng. Rasanya
menyenangkan untuk nggak terlalu dekat dengan Karin. Walaupun jarak kami
sekarang hanya 5 meter, seenggaknya gue tidak perlu melihat wajahnya, yang sama
saja denga gue nggak perlu melihat kepalsuannya.
Gue kembali setelah 3 menit, dengan nasi uduk, sambal goreng
dan sambal kacang, 2 potong tahu, paha ayam dan lalapan. “Udah, sekarang lo mau
ngomongin apa?”, gue bertanya ke Karin, pura-pura nggak sadar kalau dia sama
sekali tidak makan, pura-pura tidak memberikan perhatian yang justru dari tadi
aku berikan. “Gue putus, Mar. Gue putus sama Niko.” Sama sekali nggak penting.
Terus apa masalah gue kalau dia putus? Apa gue harus tanggung jawab?. “Hm,
terus?”, sialan. Harusnya gue bisa ngomong lebih dari itu. Harusnya gue nggak
se-pengecut ini.
nah baru sampe situ wkwwkwk-_- yang punya usul kritik saran, gue menerima semuanya kok karena gueh baekh sekalehh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar