Jumat, 15 Maret 2013

hai

jadi gue mau nulis cerita yang sekitar 3 bulan lalu gue buat dan ga rampung-rampung, udah 2 bagian dan mau langsung gue tulis sekalian semuanya. toh belom ada ujungnya kan jadi org org masih ada kesempatan untuk nebak-nebak lah wkwk.

1.

 Mungkin kamu bagian dari diriku layaknya air merupakan bagian dari ‘cat air’. Namun cobalah berfikir, seenggaknya sedikit relaistis. Air memang bagian dari cat air, namun pada dasarnya mereka diciptakan tak selamanya untuk saling melengkapi. Cat akan membutuhkan air hari ini, tapi di lain waktu, dia bisa saja begitu, benar-benar membenci air. Anak bayipun –yang sudah memiliki akal. Tunggu, apa ada anak bayi yang memiliki akal? Ini agak sedikit mengingatkanku pada jonathan, anak tetangga sebelah yang super bawel. Mereka bilang Jonathan bayi cerdas padahal mana ada, sih bayi yang cerdas? Semua bayi rasanya sama saja, mereka sama-sama bayi! Jangan mengharapkan lebih karena bahkan kadang wajah merekapun tak bisa dibedakan. Kembali ke topik pembicaraan. Siapapun pasti mengerti bahwa cat yang sudah mengering, kita fokuskan hal ini ke cat air, okay? Jadi jangan coba-coba mencela omonganku, pasti akan luntur jika kembali diberikan air. Dan kutebak, satu-satunya kebencian cat adalah pada air. Walaupun pada awalnya dia mencintai air. Mengapa omongan ini terlihat ribet, sih. Inikan hanya mengenai cat air. Oh ya! Aku lupa sesuatu yang penting. Dan disaat hidupnya tengah penuh romansa dengan air, cat harus rela dilempar kearah kanvas, bagaikan terjebak kenyataan, cat tak dapat melakukan usaha apapun. Lagipula dia tak bisa berteriak, punya mulut saja enggak. Tolong ya, ini bukan cerita imaginer sinting yang terus-menerus menceritakan cerita tentang cat air gak jelas yang entah dimana ujungnya. Nah, sekarang adalah bagian paling seru. Cat mulai menaruh rasa pada kanvas, dan kanvas merasa beruntung. Setidaknya ada yang sudi mencintai kanvas polos, sama sekali gak menarik. Dibagian ini pasti pikiranmu mulai terbuka. Air sebenarnya tidak secara sengaja ingin menghancurkan cat. Ia sebenarnya ingin merebut kembali cat dari kanvas keparat yang dengan berani-berani merebut kekasih hatinya.  Namun sialnya, bukannya menghancurkan kanvas, tanpa disadari pembalasan dendamnya malah membuat cat sengsara. Ini tragis, teman. Ini targis! Kalian harusnya menangis seperti habis putus cinta dibagian ini! Namun dalam hati kecilnya, air tidak bersedih. Karena pada akhirnya, cat luntur bersamanya. Pada akhirnya mereka tetap bersama. Aku sedikit lebih tertarik pada cerita ini daripada cerita cinta remaja, yang ceritanya selalu duplikat romeo dan juliet atau apalah yang lain, aku tidak begitu tergila-gila pada cerita cinta. Aku lebih memilih cerita-cerita mystery-fantasy seperti starters atau the hunger games atau masterpiece-nya James Dashner, The Maze Runner. Trilogynya benar-benar membiusku seperti tikus percobaan. Tapi, aku rasa tulisanku ini tak akan berujung menjadi cerita misteri. Mungkin roman, malah. Tapi bukan juga roman-roman yang membuat mual. Roman cat air sepertinya boleh juga.  Dibuat agak sedikit pahit, karena terlalu banyak manis terkadang membuatmu tak sadar bahwa hidup ini rintangan, bukan tempat untuk bersenang-senang seperti presepsi anak-anak muda zaman sekarang. Lebih baik kita mulai sekarang, ya. Prolog ini terlihat semakin membosankan.







(Raissa, awal Januari)
 Kau kira bakal turun salju, ya? Persetan dengan itu, aku juga ingin merasakan salju, meremasnya hingga menjadi bulir-bulir, melempar-lemparkannya kemana arah, persis seperti orang mabuk. Atau lebih parahnya menahan pintu rumah Bu Ranti, kepala arisan yang membosankan dan ya, well, sedikit galak dengan 1 ton salju dari aalat pengeruk salju superku, yang suatu saat nanti pasti akan aku beli dengan uangku sendiri. Yang terpenting, Bu Ranti ini sedikit nyebelin. Sedikitku inii bisa dihitung seperti lumayan banyak, ya. Tapi sayangnya ini Indonesia, dan mengerjai Bu Ranti merupakan ide yang cukup buruk. Januari awal selalu terasa dingin karena hujan terus-terusan datang, dan percaya deh, hujan benar-benar membuat semua orang terganggu. Pernah sekali, Radit, anak pertama Bu Ranti, sampai harus dilarikan ke rumah sakit dan divonis gegar otak karena terlalu banyak main hujan. Sebenarnya bukan karena hujan, sih. Dia terpeleset di kamar mandi. Tapi, kan, itu karena air. Air dan hujan sepertinya sama saja. Entah aku yang dungu atau kalian yang terlalu pintar, tapi cerita tentang Radit ini kayaknya sedikit nggak nyambung. Lain halnya dengan Jeremy, aku nggak tahu dia anak siapa ataupun dari mana karena memang aku bukan orang yang suka ingin tahu. Yang penting, kata mama, dia sempat dibilang sinting, karena suka teriak-teriak kalau lagi hujan. Jujur saja, menurutku itu nggak terlalu absurd. Orang-orang memang suka membesar-besarkan apapun, terutama bagi ibu-ibu tukang rumpi yang  besar di era pemyayi festival semacam Emilia Contessa, yang kata mamaku, sih, namanya dijadikan nama majalah. Atau bisa juga bapak-bapak yang masih rutin senam jantung sehat. Mereka rumpi banget, deh. Tapi mereka justru orang-orang paling baik yang aku kenal di sini. Lain dengan bu Ranti. Bukannya aku mau membuat citra bu Ranti buruk, tapi memang begitu kenyataannya. Dan kenyataan ga selamanya manis, kan?
“Jangan ngelamun terus. Cepetan makannya, kalo 30 detik lagi belum selesai, seneng apa engga, lo gue tinggal. Ya lagipula, kalo lo gak seneng juga nggak masalah, sih”. Dhanis emang gila. Dia kira nasi goreng keasinan segini banyak bakal habis dalam 30 detik? Sampe sapi bisa terbang juga nggak akan mungkin!. “Lo mau nyoba bunuh gue, ya? Atau lebih parahnya, lo mau bikin gue naik bajaj yang abangnya genit-genit di pangkalan depan? Hiih, sorry ya. Mending gue nyari angkot yang supirnya ganteng”, aku coba buat berkilah. Mana harga diri ku sebagai cewek? Kakak yang spesiesnya kayak Dhanis ini bener-bener harus punah suatu saat nanti. Mau punah besok juga aku nggak keberatan. “Satu.... Dua....”
“Lo waras gak sih nis? Sabar dikit dong!”
“Tiga... Empat”
“Eh ngapain masih ngitung! Bentar lagi selesai kok, ini asin banget gue enggak kuat kalo cepet-cepet!”
“Lima... Enam...”
“Eh sumpah ya nis lo gila! Lo mau gue makan cepet-cepet sambil ngomong kayak gini, terus akhirnya makanan gue salah masuk ke tenggorokan gara-gara katup epiglotis gue kebuka? Bisa-bisa gue masuk koran gara-gara mati keselek nasi goreng kebanyakan garem! Lo mau nis, adek tersayang lo ini mati mengenaskan? Tega banget lo.”
“Tiga puluh. Jangan bawel makanya. Mending tadi lo cepet-cepet makan daripada ceramah masalah katup-katupan. Lagian juga muka kayak lo mah gabakal mungkin masuk koran. Profit perusahaan korannya bisa turun, terus dalam seminggu bisa bankrupt.”
“Terserah deh lo mau ngomong apa. Mending gue naik angkot daripada diboncengin sama lo. Maaf aja, ya.”
“Gue juga mending pergi sendiri daripada ngeboncengin lo, Sa. Berat. Ngomong-ngomong, muka lo udah mulai bulet, tuh. Badan lo juga makin oke, makin kayak pesumo. Taruhan sama gue, besok lo bakal dikontrak buat ikut gulat atau paling enggak smack down. Udah ah, gue udah menyia-nyiakan waktu gue buat hal kurang bermanfaat. Byeee”
Kurang ajar. Kalau ini permainan catur, sekarang  aku bener-bener dibuat skakmat sama Dhanis. Terpaksa  hari ini naik angkot. Mana uang bulanan makin tipis, mama sama papa sudah berangkat kerja bareng layaknya pasangan bahagia, Dhanis udah jalan ke kampusnya, seneng-seneng sama ceweknya. Aku malah harus susah-susah jalan ke pangkalan depan, di sekolah juga cuma jadi anak gak dipandang.  Boro-boro punya pacar, orang-orang aja pada ngeri deket-deket. Paling hanya Shinta yang sudi jadi temanku. Anak separuh eksis yang nggak jelas genusnya. Aku ini bagaikan bayangan. Cuma bayangan! Dan hal tersebut sama sekali enggak terdengar hiperbola. Aku memang transparan, gak ada juga yang tau aku ada. Trgaisnya, ini lebih parah. Gak ada orang lain selain Shinta yang mau ngakuin kalau aku ada.







Tidak ada komentar: